KRJogja.com - Catur wulan pertama 2025 belum habis. Puasa Ramadan baru usai dan di tengah suasana silaturahmi Idul Fitri serta persiapan memeringati Hari Kartini, serangkaian kasus kekerasan seksual yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, terungkap. Miris, kasus yang terungkap bahkan menyeret nama besar dan profesi bermartabat.
Ada Kasus eks Kapolres Ngada NTT, pemerkosaan dan pembunuhan jurnalis Juwita oleh oknum TNI, kasus Guru Besar UGM serta kasus dokter PPDS Unpad. Sepertinya, pelaku kasus-kasus kekerasan seksual, sudah tidak lagi memandang perkerjaan dan profesinya.
Situasi ini sangat memprihatinkan. Realitas yang dapat menjadi pembelajaran sekaligus menegaskan, Indonesia dalam posisi darurat kekerasan seksual. Apalagi, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat, sejak 1 Januari – 12 Maret 2025 telah terjadi 4.281 kasus.
Angka tersebut merupakan kasus yang telah dilaporkan melalui pelbagai layanan penanganan kekerasan. Dari angka tersebut, 80,4% korban kekerasan berjenis kelamin perempuan, 62,6% korban berusia anak.
Sementara data Menteri PP-PA per-April 2024 menyebut terjadi 2.681 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Artinya, banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, sehingga peran sekaligus ‘taring’ Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) perlu lebih dipertajam. Tentu agar memiliki power ketika harus menghadapi pejabat di lingkungan perguruan tinggi yang menjadi pelaku kekerasan seksual.
***
INDONESIA darurat kekerasan seksual karena ulah penjahat kemanusiaan yang tidak beradab. Mirisnya, mereka ada yang berseragam, berprofesi pendidik, penegak hukum bahkan berdiri di depan kelas serta memiliki jabatan atau gelar tinggi.
Jelas, realitas ini menegaskan bila pelecehan bahkan kekerasan seksual, tidak sekadar nafsu tapi juga soal kekuasaan dan kontrol. Mereka yang memiliki kuasa telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk melampiaskan syahwat tanpa beradab. Mereka memanfaatkan kekuasaan dan pengaruhnya. Nyaris, tidak ada lagi zona aman dari kekerasan seksual bagi perempuan dan anak.
Relasi kuasa yang timpang menyadarkan bila upaya penyelesaian tidak cukup dengan aturan hukum semata. Apalagi Riset Komnas Perempuan 2023 silam menyebutkan bila kekerasan seksual berbasis relasi kuasa meningkat, terutama di sektor pendidikan dan keagamaan. Sementara data yang diungkap Kemen PPPA menyebut bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap anak pada 2024 lebih tinggi dibandingkan pada 2021.
Secara detail diungkap, prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki usia 13—17 tahun sepanjang hidup sebesar 3,65% pada 2021, naik menjadi 8,34% pada 2024. Sedangkan prevalensi kekerasan seksual pada anak perempuan dengan usia yang sama sepanjang hidup pada 2021 berkisar 8,43%, naik menjadi 8,82% pada 2024.
***
DATA terungkap mestinya membuat pemerintah bergegas untuk mengantisipasi serta mencari solusi. Namun terlalu banyak problem mendera bangsa dan negeri ini.
Juga terlampau banyak persoalan yang dinilai lebih mendesak diselesaikan. Mestinya, rentetan kasus adalah alarm bagi pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk tidak hanya berdiam.
Perberat hukuman pelaku kekerasan sekslau dan perkuat perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Lakukan berbagai upaya yang sensitive korban.