KEBIJAKAN tarif resiprokal Amerika Serikat yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tanggal 2 April 2025 merupakan salah satu bentuk nyata dari unilateralisme ekonomi modern, sekaligus menandai runtuhnya multilateralisme. Unilateralisme adalah pendekatan dalam hubungan internasional di mana suatu negara mengambil keputusan secara sepihak tanpa melibatkan negara lain atau mengikuti konsensus global.
Dampak dari unilateralisme Trump melalui tarif resiprokal sangat terasa di tingkat global, termasuk di Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana sektor industri pertekstilan, furnitur, kerajinan tangan, dan produk kulit yang mengandalkan ekspor ke AS menghadapi tantangan besar. Nilai total ekspor DIY sepanjang tahun 2024 mencapai sekitar US$547,52 juta. Rincian Ekspor DIY bulan Januari – November 2024: US$488,17 juta, dan bulan Desember 2024: US$59,35 juta. Negara Tujuan Ekspor Terbesar DIY adalah Amerika Serikat: 43,19%, Uni Eropa: 23,73%, ASEAN: 2,60%. Sektor industri pengolahan mendominasi ekspor DIY, menyumbang 99,06% dari total ekspor selama Januari hingga November 2024. Gambaran profil ekspor DIY tersebut menggambarkan ketergantungan terhadap pasar Amerika.
Baca Juga: Kasus Tanah Mbah Tupon Masuk Babak Baru, Polda DIY Sudah Memintai Keterangan
Era unilateralisme baru ini sekaligus menunjukkan tingkat risiko yang tinggi atas ketergantungan terhadap pasar Amerika Serikat. Secara historis, unilateralisme bukanlah fenomena baru. Amerika Serikat (AS) setelah Perang Dunia I, mengambil posisi unilateralis dengan menolak bergabung dalam Liga Bangsa-Bangsa. AS saat itu lebih memilih melindungi kepentingan dalam negerinya dan enggan terlibat dalam urusan luar negeri secara kolektif. Namun, setelah Perang Dunia II, pendekatan ini mulai tergeser oleh multilateralisme, terutama dengan lahirnya lembaga-lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang justru didorong oleh Amerika Serikat juga, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Dana Moneter Internasional (IMF). Multilateralisme mendorong kerja sama antarnegara dan mendorong stabilitas ekonomi global melalui aturan dan kesepakatan bersama.
Namun, memasuki abad ke-21, terjadi pergeseran menuju dunia multipolar, di mana kekuatan global tidak lagi terpusat pada satu negara seperti Amerika Serikat, melainkan tersebar ke berbagai pusat kekuatan seperti Tiongkok, Uni Eropa, dan India. Dalam konteks ini, unilateralisme menjadi semakin kontras dengan realitas lanskap geopolitik baru. Donald Trump, selama kampanye dan masa jabatannya kedua, mendorong kebijakan “America First” yang sangat kental dengan semangat unilateralisme. Salah satu kebijakan utamanya adalah penerapan tarif resiprokal, yakni pengenaan tarif setara terhadap negara yang menerapkan tarif tinggi terhadap produk AS.
Baca Juga: Mendapat Sambutan Hangat, Yogyakarta Royal Orchestra Gelar Konser Megah di Jakarta
Secara teori, kebijakan ini mengacu pada proteksionisme yang dijelaskan oleh Friedrich List (1841), yang menyatakan bahwa negara perlu melindungi industrinya dari persaingan luar negeri demi pembangunan jangka panjang. Dalam The National System of Political Economy, List menulis, “The power of producing wealth is infinitely more important than wealth itself.” Namun, pendekatan ini bertentangan dengan pandangan ekonomi klasik dari Adam Smith dan David Ricardo. Paul Krugman dalam International Economics (2018), juga mengingatkan bahwa proteksionisme bisa menyebabkan "mutual losses", karena negara mitra akan melakukan tindakan balasan yang sama.
Kita perlu segera mengambil momentum untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi total sebagai bagian dari reformasi struktural dan reformasi birokrasi yang pro dunia usaha tanpa mengesampingkan pembangunan kesejahteraan rakyat. Diversifikasi pasar ekspor ke kawasan Eropa Timur, Asia, Afrika, dan Timur Tengah menjadi penting agar tidak terlalu bergantung pada pasar Amerika atau Eropa. Michael Porter (1990) dalam The Competitive Advantage of Nations menekankan pentingnya inovasi dan keunggulan daya saing sebagai kunci untuk bertahan dalam kompetisi global. Dengan demikian, unilateralisme, meskipun sah sebagai pilihan kebijakan negara, berisiko besar dalam era multipolar yang menuntut kerja sama. DIY dan wilayah lain perlu membangun ketangguhan ekonomi yang agile dan adaptif terhadap dinamika global serta tidak sepenuhnya bergantung pada keputusan sepihak negara-negara besar. (Timothy Apriyanto, Pengurus Kadin DIY, Wakil Ketua Apindo DIY Bidang Ketenagakerjaan, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia DIY dan Perwakilan Unsur Pengusaha di Dewan Pengupahan DIY)