KRjogja.com - DALAM dunia yang semakin kompleks, perilaku fraud dan integritas sering kali berada di dua sisi yang bertolak belakang. Fraud, atau kecurangan, sering dianggap sebagai jalan pintas untuk mencapai keuntungan pribadi, sementara integritas menekankan pentingnya kejujuran dan konsistensi dalam tindakan.
Kedua hal ini muncul di berbagai sektor, mulai dari bisnis hingga pemerintahan, dan sering berhadapan dalam menentukan arah dan nilai yang dipegang oleh individu maupun organisasi. Tulisan ini akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan seseorang antara perilaku fraud atau menjaga integritas, serta dampak yang ditimbulkan dari keduanya.
Mengapa Fraud Bisa Terjadi?
Pada tahun 1953, Cressey mengembangkan Teori Segitiga Fraud (Fraud Triangle) yang menjelaskan tiga faktor utama penyebab kecurangan: tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization). Ketiga faktor ini, bahkan jika hanya satu yang terjadi, dapat menciptakan kondisi yang mendorong seseorang untuk melakukan fraud. Berikut penjelasan ketiganya:
1.Pressure: Individu merasa tertekan oleh situasi tertentu, seperti masalah finansial atau tuntutan eksternal, yang mendorong mereka untuk melakukan kecurangan.
2.Opportunity: Seseorang memanfaatkan kelemahan dalam sistem, seperti kurangnya pengawasan, untuk melakukan fraud tanpa terdeteksi.
3.Rationalization: Individu mencari pembenaran untuk tindakan mereka, seperti meyakini bahwa "semua orang melakukannya" atau merasa berhak melakukan kecurangan karena situasi yang dihadapi.
Kontra Fraud: Membangun Integritas
Fraud adalah masalah serius yang merugikan organisasi, individu, dan negara. Untuk mengatasinya, membangun integritas dalam sistem atau organisasi merupakan langkah efektif. Integritas, yang mencakup kejujuran, transparansi, dan konsistensi, dapat mengurangi peluang fraud dan menciptakan lingkungan yang etis. Beberapa cara untuk membangun integritas antara lain:
1) menciptakan budaya integritas,
2) kepemimpinan yang transparan,
3) penguatan sistem pengendalian internal,
4) pendidikan dan pelatihan etika, serta
5) membangun transparansi dalam pengambilan keputusan.