KRjogja.com - SUDAH menjadi kemakfuman umum setiap sendi kehidupan yang terjamah teknologi digital senantiasa menawarkan sejumlah kenyamanan. Interaksi antara permintaan dan penawaran secara ‘manual’ di pasar fisik sudah bergeser menuju transaksi versi virtual terfasilitasi oleh platform e-dagang.
Metode pembayaran yang menyertai setiap transaksi jual-beli pun beradaptasi dengan inovasi digital. Pembayaran tunai tergulung oleh media non tunai. Kartu debet, uang elektronik (e-money), dan QRIS (quick response code Indonesian standard) tersedia sebagai pilihan untuk pembayaran non tunai.
Tsunami digitalisasi keuangan tidak berhenti sampai di situ. Metode pembayaran tak sewaktu juga berkembang. Pinjaman on line muncul menawarkan suntikan dana segar. Bersandingan dengan kartu kredit, perusahaan keuangan on line menyediakan fasilitas ‘beli sekarang, bayar nanti’ (buy now, pay later).
Baca Juga: MAN 1 Yogyakarta Antar 106 Siswa Lolos SNBT 2025, Langkah Pasti Masa Depan Gemilang!
Alhasil, digitalisasi sudah menjadi bagian gaya hidup modern. Generasi Z – yang lahir bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi itu sendiri – niscaya sangat akrab dengan pemanfaatan teknologi digital. Hampir semua aktivitas Gen Z dilakukan hanya dari pencat-pencet gawai, termasuk soal keuangan.
Sayangnya, kondisi ekonomi Gen Z belum cukup kukuh. Mereka sangat boleh jadi sudah memiliki pendapatan sendiri. Namun pendapatannya belum cukup untuk membiayai kegandrungannya dalam berbelanja. Intinya, mereka tipikal generasi strawberry, eksotis namun rapuh secara finansial.
Akumulasi dari kondisi di atas membuat Gen Z terjebak dalam pusaran pinjaman on line, buy now pay later, dan jasa sejenisnya. Data statistik menunjukkan pangsa terbesar korban jasa keuangan on line adalah usia muda. Bahkan, generasi Z yang berstatus sebagai mahasiswa pun tak luput jadi mangsa.
Pada titik itu, Gen Z tengah terpapar ilusi keuangan digital. Kemudahan transaksi yang dipasok oleh teknologi digital tampaknya mampu meninabobokkan Gen Z. Tambahan saldo yang ada dalam perangkat digital mereka (dalam alam bawah sadar) dianggapnya sebagai tambahan pendapatan.
Baca Juga: SD Muhammadiyah Suronatan Kembali Raih Peringkat Atas ASPD se DIY
Oleh karenanya tidak mengherankan jika pengurangan saldo dari setiap transaksi bagi Gen Z tidak dianggap sebagai ‘kehilangan’ uang. Transaksi toh dilakukan virtual. Bandingkan dengan transaksi manual yang senantiasa diikuti dengan penyerahan uang untuk memperoleh barang/jasa yang dibutuhkan.
Lebih ironis lagi, perusahaan penyedia jasa keuangan on line justru dituding sebagai biang keroknya. Alibinya bahwa suku bunga punjaman yang dipatok penyedia jasa keuangan on line jauh lebih tinggi. Belum lagi modus penagihan kepada debitur yang acap kali dilakukan tidak manusiawi.
Alhasil, literasi keuangan digital menjadi titik tolak krisial dalam mencegah ekses negatif keuangan digital. Gen Z, sudah melek digital, namun minim seluk-beluk keuangan. Pengetahuan elementer perihal pengelolaan keuangan perlu diakselerasi guna mengimbangi penguasaan teknologi digital mereka.
Baca Juga: KAI Bandara YIA Catat Peningkatan Jumlah Penumpang pada Mei 2025
Lebih fundamental lagi, Gen Z wajib dipahamkan prinsip higher return high risk. Di balik kemudahan (teknologi digital) senantiasa termaktub konsekuensi (finansial) yang harus ditanggung. Tanpa pemahaman transaksi keuangan digital yang komprehensif, pay later akan berubah menjadi pay never.