Rangkap Jabatan: Dekadensi Etika Kekuasaan

Photo Author
- Kamis, 17 Juli 2025 | 11:53 WIB
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH., MH.
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH., MH.

KRjogja.com - FENOMENA rangkap jabatan di Indonesia telah berubah dari sekadar anomali birokratis menjadi penyakit sistemik dalam tata kelola pemerintahan. Data menunjukkan setidaknya dari total 55 wakil Menteri dalam Kabinaet Merah Putih, 26 diantaranya merangkap jabatan sebagai Komisaris diberbagai BUMN. Praktik ini bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi bentuk ketidakpatutan struktural yang mengingkari prinsip negara hukum dan demokrasi konstitusional.

Ketika jabatan publik diperlakukan seperti hak milik pribadi yang bisa dikoleksi dan dijadikan alat negosiasi kekuasaan, maka sejatinya kita sedang menyaksikan bentuk nyata dari dekadensi moral kekuasaan. Rangkap Jabatan tidak hanya merusak tata kelola kelembagaan, praktik ini juga menurunkan mutu pelayanan publik, menciptakan konflik kepentingan, dan menghapus peluang regenerasi kepemimpinan. Ini adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi secara sistematis, dilanggengkan oleh pembiaran dan kompromi politik.

Menginjak Konstitusi dan Menyimpang dari Asas Negara Hukum

Secara normatif, Indonesia adalah negara hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Hal ini berarti seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia didasarkan pada hukum, bukan pada kekuasaan. Konsekuensinya, setiap jabatan publik harus dijalankan berdasarkan hukum yang adil dan etis yang mengharuskan adanya pembagian kekuasaan yang jelas, penghindaran konflik kepentingan, dan akuntabilitas personal dalam pelaksanaan tugas publik.

Namun, realitas politik hari ini justru memperlihatkan pengabaian sistematis terhadap prinsip-prinsip itu. Pejabat publik dapat dengan mudah menjabat rangkap seperti seorang Menteri/wakil menteri yang juga menjabat sebagai Komisaris BUMN.

Meski terdapat aturan-aturan sektoral seperti UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan berbagai peraturan ASN, faktanya implementasi diabaikan atau ditafsirkan secara manipulatif. Celah hukum digunakan untuk melegitimasi yang secara moral dan konstitusional seharusnya dilarang. Inilah bentuk legalisme semu, ketika hukum dijadikan alat pembenaran kekuasaan, bukan instrumen untuk menegakkan keadilan.

Etika jabatan mengharuskan adanya tanggung jawab penuh terhadap satu posisi publik. Seseorang yang menerima amanah negara semestinya mendedikasikan waktu, pikiran, dan energinya secara utuh pada jabatan tersebut. Ketika seorang pejabat memegang lebih dari satu jabatan, maka secara faktual dan moral ia telah melanggar prinsip single accountability.

Praktik rangkap jabatan menunjukkan bahwa kekuasaan telah direduksi menjadi komoditas. Jabatan dijadikan alat distribusi kekuasaan politik, kekuasaan negara, bahkan aktor ekonomi. Dalam konteks ini, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Kinerja, transparansi, dan efisiensi birokrasi justru dikorbankan demi akumulasi posisi dan kekuasaan.

Selain itu, rangkap jabatan membunuh regenerasi kepemimpinan. Banyak talenta muda yang berkompeten justru kehilangan ruang hanya karena jabatan-jabatan strategis dimonopoli oleh elite yang sama secara terus-menerus. Ini adalah bentuk nyata dari oligarki politik yang berkedok meritokrasi semu.

Urgensi Reformasi Jabatan Publik

Sudah saatnya pemerintah dan parlemen mengambil langkah tegas untuk mereformasi regulasi terkait jabatan publik. Diperlukan aturan eksplisit yang melarang rangkap jabatan di seluruh sektor pemerintahan, termasuk BUMN/BUMD, organisasi profesi, dan lembaga independen. Tidak boleh ada lagi ruang abu-abu dalam regulasi yang bisa dijadikan celah untuk merangkap jabatan secara impunitas.

Lebih jauh, lembaga pengawas seperti KASN, KPK, dan Ombudsman RI harus diperkuat perannya dalam menindak pelanggaran etika jabatan. Partisipasi masyarakat sipil, akademisi, dan media juga penting dalam mengawal agenda ini. Diam adalah bentuk persetujuan. Dan membiarkan praktik ini berlangsung adalah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi itu sendiri.

Rangkap jabatan adalah cerminan dari arah kemunduran demokrasi dan pergeseran negara hukum ke arah negara kekuasaan. Rangkap Jabatan bukan sekadar soal administratif, tetapi soal ideologis apakah kekuasaan masih dapat dipercaya sebagai amanah, ataukah telah sepenuhnya menyerah pada pragmatisme politik?

Jika rangkap jabatan terus dibiarkan, maka bangsa ini bukan hanya kehilangan arah, tapi juga kehilangan martabat konstitusionalnya. Kini, pilihan ada di tangan rakyat dan para penentu kebijakan: apakah akan membenahi, atau ikut membusuk bersama sistem yang tengah sakit. (Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH., MH., Staf Pengajar FH UAJY dan Tim Ahli Cagar Budaya DIY)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X