Politik Cuci Tangan

Photo Author
- Kamis, 17 Juli 2025 | 14:55 WIB
Dr Junaidi,S.Ag.,M.Hum.,M.Kom.
Dr Junaidi,S.Ag.,M.Hum.,M.Kom.


KRjogja.com - MEMBACA judul tulisan ini bisa menjadi paradoks dan multi tafsir dalam organisasi politik (partai politik) atau organisasi sosial yang ada dalam masyarakat. Berbagai persepsi dan asumsi dalam berbagai perspektif akan muncul ke permukaan dalam mendefenisikannya. Filsuf Thomas Hobbes asal Inggris menyebut dengan istilah ‘homo homini lupus’ dalam karyanya "Leviathan" pada abad ke-17 bahwa manusia bagaikan serigala bagi manusia lainnya. Seorang filsuf dari Inggris, untuk menggambarkan situasi masyarakat yang diwarnai oleh persaingan dan peperangan. Siapa pun bisa menjadi musuh. Manusia yang satu bisa “memakan” dan mengorbankan manusia lain demi tujuan yang ingin dicapai.

Filsuf Aristoteles (384-322 SM) mendefinisikan manusia sebagai “binatang politik” atau ‘zoon politikon’ untuk menyebut sebagai makhluk sosial. Memang, dalam diri manusia selalu terbalut dua sifat alamiah: baik dan jahat, kasar dan lembut, adil dan tidak adil. Kata Plautus, manusia adalah serigalanya manusia (lupus est homo homini). Ini menandakan manusia sering menikam sesama manusia lain. Narasi yang terbangun di politik terlihat dominan soal kekerasan, kekejaman dan saling menjatuhkan satu sama lain.

Baca Juga: MPLS Bukan Rutinitas, Kegiatan Harus Dikemas Edukatif, Ramah, dan Menggembirakan

Ungkapan cuci tangan dalam perspektif politik dapat bermakna dua. Pertama bermakna negatif dengan dasar lepas tangan dan tidak mau bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukannya. Kedua bermakna ‘positif’ bagi pelakunya dengan dasar pemikiran bahwa seseorang telah ‘berhasil’ lepas dari tanggungjawabnya. Politik memang keras, sadis bahkan terkadang tidak bermoral dan berperikemanusiaan. Teman bisa saling "makan" apalagi lawan. Ada benarnya bahwa dalam berpolitik  tidak ada teman dan lawan abadi, yang ada hanya  kepentingan abadi. Dengan kata lain, dalam politik tidak ada musuh yang abadi dan tidak ada teman yang selamanya atau abadi.

Memang, tidak bisa dipungkiri juga ada sebagian kecil manusia yang betul-betul setia dan tulus berteman tanpa pertimbangan dan bebas dari konflik kepentingan. Tetapi, ada kebanyakan manusia hanya karena situasi dan kepentingan tertentu. Berteman karena  kepentingan sangat familiar terjadi di dunia politik baik politik praktis dan organisasi sosial kemasyarakatan. Banyak orang mengatakan jika relasi dalam di dunia politik itu tidak ada teman abadi. Agaknya, Tidak heran fenomena banyak politikus yang lompat atau migrasi dari satu parpol ke parpol lainnya karena motif utamanya adalah faktor nikmatnya kekuasaan.

Baca Juga: Atasi Krisis Air Bersih, Kadin DIY Dorong Sanitasi Cerdas

Potret buram perpolitikan praktis (partai politik) dan organisasi sosial tanah air yang sarat dengan intrik pribadi, kelompok, penuh ketidakjujuran serta keegoisan akan terus tumbuh subur dan menjadi warisan nyata bagi generasi milenial. Pemimpin dan pengurus parpol wajib bertanggung jawab atas turbelensi moral politik saat ini. Kebenaran pendapat Hobbes itu masih dapat kita jumpai dalam situasi kita saat ini. Kita merasakan bahwa situasi persaingan itu semakin menguat.

Apalagi di era globalisasi yang ditopang oleh sistem pasar bebas. Jargon “Kalau mau tetap eksis, harus berani bersaing dengan yang lain” itulah pernyataan yang seringkali dimunculkan ke permukaan. Di antara negara-negara, persaingan itu sangat kentara. Perusahaan-perusahaan trans-nasional bertebaran di mana-mana. Yang punya modal kuat bisa bertahan dan bahkan makin mendulang keuntungan. Sementara yang modalnya kecil kandas di tengah jalan. Situasi persaingan itu tidak hanya terjadi antar institusi, persaingan antar individu pun bisa terjadi.

Baca Juga: Mantan Penerima PKH Rayakan Graduasi di UGM, Mensos: Bukti Kemiskinan Bisa Dihentikan, Bukan Diwariskan

Dalam peradaban modern, untuk menggambarkan perilaku manusia yang kejam, predator, dan tidak manusiawi. Pepatah ini sering muncul dalam konteks politik, ekonomi, dan sosial, terutama ketika membahas konflik, persaingan, dan ketidakadilan. Misalnya, dalam konteks politik, istilah ini menggambarkan bagaimana kekuasaan dan dominasi bisa menjadi tujuan utama seseorang atau kelompok, sering kali dilakukan dengan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.

Pada intinya, frasa yang menggambarkan sisi gelap sifat manusia, namun juga menekankan pentingnya aturan, hukum, dan pendidikan dalam menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis. Bukanlah sebatas ‘uang’ untuk menjalankan organisasi jika tanpa sumber daya manusia (SDM) yang handal dan profesional serta berintegritas. Meskipun pesimis, konsep ini tetap relevan dan penting untuk dipahami dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari organisasi sosial, organisasi politik, ekonomi, hingga hubungan sosial kemasyarakatan sehari-hari. Semoga! (Dr Junaidi,S.Ag.,M.Hum.,M.Kom)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X