KRjogja.com - DELAPAN PULUH tahun bangsa kita merdeka. Setiap 17 Agustus, bendera Merah Putih berkibar di seluruh penjuru negeri. Lomba rakyat, pawai, dan doa syukur menjadi bagian dari perayaan. Namun, di balik gegap gempita itu, ada pertanyaan yang layak kita renungkan: sudahkah kita merdeka dalam urusan pangan dan gizi?
Kemerdekaan sejati bukan hanya lepas dari penjajahan fisik. Ia juga berarti bebas dari ketergantungan yang melemahkan, termasuk pada pasokan pangan. Dalam konteks ini, kedaulatan pangan berarti kemampuan bangsa memproduksi, mengolah, dan mengonsumsi pangan yang cukup, aman, bergizi, serta sesuai budaya, tanpa terlalu bergantung pada impor atau tekanan pasar global.
Indonesia memiliki kekayaan hayati dan pangan lokal yang luar biasa. Sayangnya, pola konsumsi masyarakat masih banyak didominasi pangan instan dan produk impor. Masalah gizi ganda—kekurangan gizi dan obesitas—masih terjadi di banyak daerah. Ironisnya, pangan lokal bergizi sering kalah pamor dibanding produk luar negeri.
Salah satu terobosan untuk memperkuat kedaulatan pangan adalah pengembangan pangan fungsional. Ini adalah pangan (segar/olahan) yang mengandung komponen yang bermanfaat untuk meningkatkan fungsi fisiologis tertentu, dan/atau mengurangi risiko sakit yang dibuktikan berdasarkan kajian ilmiah, harus menunjukkan manfaatnya dengan jumlah yang biasa dikonsumsi sebagai bagian dari pola makan sehari-hari.
Tempe, tape, yogurt, aneka produk probiotik, minuman herbal kaya antioksidan, hingga tepung mocaf adalah contoh pangan fungsional. Dengan inovasi tepat, bahan lokal seperti seledri, jahe, kunyit, atau kelor dapat diolah menjadi produk modern yang digemari generasi muda.
Setidaknya, ada empat alasan utama pentingnya pangan fungsional. Nilai tambah produk lokal menjadi alasan pertama. Seledri yang biasanya hanya bumbu, misalnya, bisa diolah menjadi yogurt probiotik yang bermanfaat untuk kesehatan jantung dan pembuluh darah serta pencernaan. Produk semacam ini berpotensi memperluas pasar dan menaikkan pendapatan petani maupun UMKM.
Alasan kedua, pangan fungsional mampu menjawab tantangan kesehatan. Penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan kolesterol kini menjadi momok di Indonesia. Produk kaya serat yang larut air dapat membantu mengendalikan gula darah, sementara fermentasi probiotik dapat memperkuat imunitas dan menormalkan metabolisme.
Ketiga, pangan fungsional menghidupkan inovasi berbasis kearifan lokal. Rempah dan tanaman tradisional bisa diolah menjadi minuman, suplemen, atau makanan siap saji yang bernilai jual tinggi.
Keempat, pangan fungsional membantu mengurangi ketergantungan impor. Semakin banyak bahan lokal potensial yang merupakan bagian dari pangan fungsional, jika diolah menjadi produk bernilai tambah, semakin memperkuat posisi kita dalam rantai pasok pangan nasional.
Namun, jalannya tidak selalu mulus. Literasi gizi masyarakat masih rendah. Riset terapan untuk mengoptimalkan bahan lokal masih terbatas. Regulasi dan sertifikasi kerap memakan waktu lama. Belum lagi persaingan ketat dengan produk impor yang dikemas lebih menarik.
Momentum kemerdekaan menjadi saat tepat untuk bergerak. Pemerintah, akademisi, dan pelaku usaha perlu bersinergi mengembangkan riset, teknologi, dan pasar pangan fungsional berbasis lokal. Edukasi publik juga penting, agar masyarakat memilih pangan yang tak hanya mengenyangkan, tetapi juga juga memiliki zat fungsional yang menyehatkan.
Kebijakan yang memprioritaskan bahan baku lokal, memberi insentif inovasi, dan mempermudah sertifikasi produk sehat perlu dijalankan. Promosi kuliner sehat yang memadukan resep tradisional dengan sentuhan modern dapat menjadikan pangan fungsional sebagai gaya hidup, bukan sekadar tren.
Bayangkan, perayaan 17 Agustus di masa depan diwarnai festival pangan fungsional yang enak dan bergizi: lomba makan kerupuk porang atau singkong kaya serat, es campur sirup rempah antioksidan, atau pun yogurt probiotik dari susu sapi lokal. Meriah, sehat, bergizi, dan mandiri.