KRjogja.com - DI ERA DIGITAL yang serba cepat dan terbuka ini, kemampuan berbicara di depan umum atau public speaking bukan lagi sekadar keterampilan tambahan ia telah menjadi senjata utama bagi generasi muda, khususnya mahasiswa. Sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang masih terjebak dalam rasa takut, gugup, atau merasa "nggak pede" saat diminta menyampaikan pendapat di kelas, rapat organisasi, bahkan saat presentasi. Padahal, di balik kemampuan berbicara yang terstruktur dan percaya diri, tersimpan potensi besar: mulai dari peningkatan kepercayaan diri, kemampuan berpikir kritis, hingga peluang karier di masa depan.
Menurut Dale Carnegie (1990) dalam bukunya The Quick and Easy Way to Effective Speaking, kemampuan berbicara di depan umum dapat membuka jalan kesuksesan pribadi dan profesional, serta memperkuat pengaruh seseorang dalam lingkungan sosialnya. Senada dengan itu, Chris Anderson (2016), kurator TED Talks, dalam bukunya TED Talks: The Official TED Guide to Public Speaking, menekankan bahwa komunikasi yang autentik dan terstruktur mampu menginspirasi perubahan nyata. Public speaking bukan hanya soal tampil memukau, melainkan tentang bagaimana menyampaikan ide dengan keberanian, menyentuh hati audiens, dan membangun koneksi yang bermakna. Mahasiswa adalah agen perubahan, dan perubahan besar tidak pernah lahir dari diam. Maka inilah saatnya generasi muda harus bangkit, bicara, dan didengar!
1. Mengapa Mahasiswa Harus Bisa Bicara di Depan Umum?
Di balik citra kampus sebagai tempat menuntut ilmu, ada satu keterampilan yang sering terlupakan namun sangat krusial bagi masa depan mahasiswa yakni kemampuan berbicara di depan umum. Dalam realitas dunia modern, kecakapan akademik saja tidak cukup. Mahasiswa dituntut untuk mampu menyampaikan ide dengan jelas, meyakinkan, dan penuh percaya diri, baik dalam forum akademik seperti presentasi kelas, maupun di luar kampus seperti organisasi, komunitas, atau bahkan dunia kerja. Dalam konteks ini, public speaking bukan sekadar seni berbicara, melainkan sarana aktualisasi diri dan kepemimpinan intelektual yang sangat dibutuhkan. Seperti yang dikatakan oleh Dale Carnegie (1990) dalam bukunya The Quick and Easy Way to Effective Speaking, kemampuan berbicara yang baik membuka banyak peluang dalam kehidupan pribadi dan profesional.
Kemampuan berbicara di depan umum juga menjadi pembeda utama antara mahasiswa pasif dan mahasiswa progresif. Mahasiswa yang mampu menyampaikan gagasan dengan baik cenderung lebih dihargai, lebih aktif dalam diskusi, dan lebih berani mengambil peran dalam kegiatan kemahasiswaan. Bahkan menurut survei National Association of Colleges and Employers (NACE), keterampilan komunikasi menduduki posisi teratas dalam daftar kompetensi yang paling dicari oleh perusahaan terhadap calon lulusan baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Anderson (2016), bahwa dalam dunia modern, keahlian berbicara di depan publik tidak lagi bisa dianggap sebagai kemampuan tambahan, melainkan kebutuhan utama. Di Indonesia sendiri, pentingnya public speaking juga ditekankan oleh Anang Prihantoro (2018) dalam bukunya Public Speaking for Students, yang menyebut bahwa mahasiswa perlu dibekali kemampuan komunikasi agar mampu tampil percaya diri dan profesional di berbagai forum akademik dan sosial.
Lebih dari itu, mahasiswa hari ini adalah calon pemimpin masa depan. Jika mereka tidak dibiasakan menyuarakan gagasan sejak dini, bagaimana mungkin kelak mampu membawa perubahan? Dalam masyarakat demokratis, suara kaum intelektual muda sangat dibutuhkan untuk mengkritisi, menginspirasi, dan memberi arah. Maka, melatih public speaking sejatinya adalah melatih keberanian untuk berpendapat, membangun logika berpikir, dan membentuk karakter kepemimpinan. Seperti ditegaskan dalam buku Komunikasi Pendidikan karya Hafied Cangara (2013), komunikasi lisan bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga membentuk karakter komunikator yang bertanggung jawab.
2. Rasa Takut Bicara Itu Wajar, Tapi Bisa Dilatih
Takut berbicara di depan umum adalah pengalaman yang sangat umum, bahkan bagi mereka yang sudah terbiasa tampil. Rasa gugup, gemetar, atau takut lupa materi adalah bentuk dari glossophobia, yaitu ketakutan berbicara di depan publik. Sebuah survei oleh The Book of Lists (2004) menyebutkan bahwa ketakutan terhadap berbicara di depan umum bahkan melebihi ketakutan terhadap kematian. Hal ini menunjukkan betapa besar tekanan psikologis yang dirasakan seseorang saat menjadi pusat perhatian. Namun, penting untuk dipahami bahwa ketakutan ini wajar dan manusiawi. Justru, kesadaran akan kelemahan ini adalah langkah awal menuju penguasaan diri dan peningkatan keterampilan komunikasi.
Untungnya, kemampuan public speaking bukan bakat bawaan yang eksklusif—ia adalah keterampilan yang bisa diasah dengan latihan terus-menerus. Dale Carnegie (1990), tokoh legendaris dalam pengembangan diri, menegaskan bahwa ketakutan berbicara akan berkurang seiring meningkatnya pengalaman dan kepercayaan diri. Latihan sederhana seperti berbicara di depan cermin, mengikuti forum diskusi, atau mengambil peran kecil dalam organisasi dapat membantu membangun rasa nyaman saat berbicara di depan umum. Di lingkungan kampus, banyak ruang belajar informal yang bisa dimanfaatkan mahasiswa, seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), pelatihan debat, atau lomba pidato.
Dalam konteks lokal, Anas Mahyudin (2017) dalam bukunya Public Speaking untuk Pemula mengingatkan bahwa keberanian berbicara akan tumbuh ketika seseorang mulai “memaksa dirinya keluar dari zona nyaman” dan menantang dirinya untuk tampil di hadapan orang lain. Kesalahan dan rasa gugup bukanlah kegagalan, melainkan bagian dari proses belajar. Sementara itu, Hafied Cangara (2013) juga menekankan pentingnya penguasaan komunikasi interpersonal dan empati dalam menghadapi audiens, karena komunikasi bukan sekadar menyampaikan pesan, melainkan juga membangun kedekatan dan pengaruh.
3. Manfaat Public Speaking bagi Mahasiswa dan Pelajar
Kemampuan public speaking membuka banyak pintu kesempatan, tidak hanya di dunia akademik, tetapi juga dalam kehidupan sosial, organisasi, dan masa depan profesional. Mahasiswa yang mampu berbicara dengan baik akan lebih mudah menyampaikan ide secara logis dan persuasif, menjadi lebih aktif dalam diskusi kelas, dan tampil menonjol di berbagai kegiatan kampus. Menurut Chris Anderson (2016) dalam bukunya “TED Talks: The Official TED Guide to Public Speaking”, komunikasi yang kuat adalah keterampilan abad ke-21 yang wajib dimiliki setiap pembelajar.
Lebih jauh lagi, manfaat public speaking mencakup aspek kepribadian seperti peningkatan kepercayaan diri, penguatan daya pikir kritis, kemampuan mengorganisir pikiran secara sistematis, dan keterampilan mendengarkan. Ini semua menjadi bekal penting dalam menghadapi wawancara kerja, magang, presentasi penelitian, hingga proses seleksi beasiswa. Seperti dijelaskan oleh Lucas (2015) dalam buku “The Art of Public Speaking”, keterampilan berbicara bukan hanya tentang kemampuan teknis, tetapi juga tentang pengaruh yang dibangun dari kredibilitas pembicara.
Di Indonesia, manfaat komunikasi publik juga ditegaskan oleh Arifin (2011) dalam bukunya “Komunikasi Pendidikan”, bahwa public speaking menjadi wahana pembentukan karakter pembelajar yang aktif dan komunikatif. Sementara itu, pengalaman organisasi mahasiswa menunjukkan bahwa keterampilan berbicara sangat berkorelasi dengan kemampuan memimpin dan mempengaruhi orang lain. Hal ini sejalan dengan pandangan Jalaluddin Rakhmat (2007), bahwa komunikasi yang baik tidak hanya menggerakkan logika, tetapi juga memengaruhi emosi audiens secara positif.
4. Belajar Bicara Sejak di Bangku Kuliah: Tips Praktis
Menguasai public speaking tidak harus menunggu sampai lulus kuliah atau saat sudah memasuki dunia kerja. Justru masa kuliah adalah waktu paling tepat untuk mulai belajar dan melatih kemampuan berbicara di depan umum. Sayangnya, tidak semua mahasiswa menyadari bahwa setiap kesempatan berbicara — entah dalam presentasi, forum diskusi, atau kegiatan organisasi — adalah momen latihan yang sangat berharga. Menurut Carmine Gallo (2014) dalam bukunya “Talk Like TED”, keterampilan komunikasi yang kuat dibangun dari latihan konsisten dan kemampuan membangun koneksi emosional dengan audiens.
Ada banyak cara praktis yang bisa dilakukan mahasiswa untuk melatih kemampuan public speaking. Pertama, biasakan diri menyampaikan pertanyaan atau pendapat di dalam kelas. Kedua, aktiflah dalam organisasi atau Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang menyediakan ruang diskusi, debat, atau forum pelatihan komunikasi. Ketiga, manfaatkan media digital seperti podcast, video singkat, atau vlog sebagai latihan berbicara secara kreatif. Dosen dan lingkungan kampus juga dapat mendukung dengan memberi ruang untuk latihan presentasi yang lebih dinamis.
Selain itu, mahasiswa perlu menyadari bahwa komunikasi yang efektif tidak hanya soal suara lantang atau bahasa tubuh menarik, tetapi juga mencakup penguasaan materi, struktur berpikir, dan kemampuan membaca audiens. Hal ini sesuai dengan pendapat Stephen E. Lucas (2015) dalam “The Art of Public Speaking”, bahwa pembicara yang baik bukan hanya menyampaikan isi, tetapi juga menyesuaikan pendekatan dengan karakter audiens. Hafied Cangara (2013) juga menekankan pentingnya etika komunikasi, di mana keberhasilan pesan sangat bergantung pada ketepatan waktu, konteks, dan empati pembicara.