Merdeka dari Kental Manis: Tantangan Lama “yang terabaikan” dalam Perlindungan Gizi Anak
Oleh Satria Yudistira
Stunting di Indonesia akhirnya menunjukkan penurunan berarti. Tahun 2024, prevalensinya turun menjadi 19,8% . Secara statistik, ini kabar baik. Target Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebesar 20,1% berhasil dilampaui, bahkan sudah berada di bawah ambang batas 20% yang ditetapkan WHO sebagai indikator masalah kesehatan masyarakat kronis.
Namun euforia ini jangan sampai membuat kita lengah. Target ambisius Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S) sebenarnya mematok angka 14% sebagai capaian 2024. Artinya, meski ada kemajuan, pekerjaan belum selesai.
Lebih dari itu, ada fakta lain yang nyaris tenggelam di balik kabar gembira ini. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat, sejak 2010 hingga 2023, prevalensi diabetes pada anak melonjak 70 kali lipat . Angka yang nyaris tak masuk akal ini menegaskan satu hal yang perlu jadi atensi bersama yaitu ketika satu masalah berhasil ditekan, ancaman kesehatan lain bisa saja tumbuh diam-diam.
Kondisi ini ibarat menambal satu sisi kapal yang bocor, sementara sisi lainnya retak semakin lebar. Penurunan stunting memang kabar baik, tapi itu bukan tiket untuk mengatakan kesehatan anak Indonesia sudah aman. Ancaman lain masih ada, mulai dari pola makan tinggi gula, konsumsi minuman manis, hingga miskonsepsi gizi yang sudah mengakar di masyarakat, baik di desa maupun di kota besar.
Salah satu yang jarang disorot adalah kebiasaan memberikan kental manis sebagai pengganti susu balita, bahkan ASI. Produk ini membangun ilusi dan persepsi keliru. Selama puluhan tahun, produsen lewat iklan dan propaganda media dengan sengaja membingkai kental manis seolah setara dengan susu sehat. Visual keluarga harmonis, anak aktif berlarian, jingle yang melekat di telinga, hingga slogan yang memancing rasa percaya, semuanya dirangkai dalam strategi pemasaran yang masif dan konsisten.
Pengulangan pesan inilah yang memicu illusory truth effect yaitu kecenderungan psikologis untuk menganggap sesuatu benar hanya karena sering mendengarnya (Fazio, 2015) . Akibatnya, banyak keluarga sungguh-sungguh percaya kental manis adalah susu, dan memberikannya setiap hari pada anak. Budaya keliru ini akhirnya terbentuk: kental manis menjadi minuman rutin pengganti susu, bahkan ASI.
Baca Juga: DPW PAN DIY Bagikan 2700 Paket Bantuan Pangan untuk Warga
Fakta di lapangan lebih mencengangkan, ada anak yang bukan hanya minum satu sachet kental manis, tapi sampai tujuh sachet dalam sehari. Jika satu sachet mengandung sekitar 20 gram gula, berarti anak tersebut sudah mengonsumsi 80% dari batas aman WHO untuk anak (25 gram) hanya dari kental manis saja belum dari asupan lain. Maka, ketika jumlahnya mencapai tujuh sachet, total gulanya melesat hingga 140 gram per hari nyaris tujuh kali lipat dari batas aman. Jumlah sebesar ini jelas bukan sekadar angka, tetapi bom waktu yang memicu obesitas dan diabetes tipe 2 sejak usia dini.
Ironisnya, semua ini terjadi di era banjir informasi, dimana konten-konten tentang fakta tentang bahaya kental manis sudah banyak beredar di media sosial. Dengan 143 juta pengguna media sosial atau sama dengan separuh populasi Indonesia , akses informasi seharusnya bukan jadi masalah. Namun, kenyataannya banyak orang tua tetap memberikan kental manis kepada anak, bukan karena tidak tahu, tetapi karena tidak peduli.
Ketidakpedulian ini tidak lahir begitu saja. Dalam banyak kasus, termasuk pemberian kental manis, hal ini selaras dengan teori Hierarchy of Needs dari Abraham Maslow (1943). Ketika keluarga masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan, perhatian terhadap kualitas gizi anak sering tergeser oleh kebutuhan untuk bertahan hidup.