KRjogja.com - BEBERAPA minggu terakhir ini dunia disajikan berbagai berita terkait serangkaian demonstrasi yang sepertinya menular dari satu negara ke negara lain. Dimulai pada akhir bulan Agustus hingga awal September 2025, aksi demonstrasi di Indonesia setidaknya menimbulkan 10 orang meninggal dunia. Aksi demo ini ditujukan kepada pemerintah dan anggota DPR, yang salah satunya dipicu oleh flexing yang dilakukan oleh anggota DPR di tengah perekonomian masyarakat yang sedang sulit.
Kemudian menyusul aksi unjuk rasa di Nepal yang berujung pada setidaknya 72 orang meninggal dunia disertai pembakaran dan penjarahan. Pemacu asi unjuk rasa di Nepal ini juga hampir sama dengan Indonesia mengenai flexing gaya hidup mewah yang dilakukan keluarga pejabat. Negara tetangga yang berbatasan dengan Propinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Timor Leste juga terjadi demo besar. Lebih dari 1000 orang berunjuk rasa untuk menghentikan rencana pembelian mobil untuk 65 anggota parlemen.
Baca Juga: Merti Pedukuhan Boro, Karangsewu Kolaborasi dengan Biennale Jogja 18 'Kawruh Tanah Lelaku'
Demo juga terjadi di negara Filipina meskipun berlangsung damai dan kecil. Mereka memprotes dugaan korupsi pada proyek pengendalian banjir. Australia, negara tetangga Indonesia sebelah selatan juga terjadi aksi unjuk rasa secara sporadis di kota-kota besar, dengan tuntutan yang berbeda-beda. Salah satu tuntutan yang sama dengan beberapa negara lain adalah protes terhadap korupsi yang dilakukan pemerintah serta biaya hidup yang makin tinggi. Di belahan benua Eropa, tepatnya Perancis aksi unjuk rasa juga terjadi sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah terkait efisiensi anggaran.
Mengapa gelombang protes tersebut bisa bergerak hampir berurutan dari negara satu ke negara lain secara global? Fenomena ini menarik untuk dilihat dari perspektif pemasaran. Gagasan tuntutan rakyat terhadap pemerintah dapat menyebar secara cepat melalui media digital.
Penyebaran produk pemasaran secara digital hampir mirip dengan penyebaran ide perlawanan sosial secara digital. Salah satu teori yang relevan untuk membahas hal ini adalah teori Diffusion of Innovations oleh Everett M. Rogers. Diffusion of innovation adalah proses mengkomunikasi ide baru melalui media tertentu kepada anggota dari sosial sistem selama waktu tertentu. Ketika sebuah ide baru dilontarkan dalam waktu tertentu kemudian diadopsi oleh sebagian orang, maka akan mendorong terjadinya sebuah konsekuensi yang berdampak pada perubahan kondisi sosial.
Baca Juga: Gerakan Bersama Peduli Lansia, Wujud Kepedulian dan Kebersamaan
Unjuk rasa di negara Indonesia banyak disiarkan secara digital oleh netizen Indonesia secara intens sejak akhir agustus. Media sosial, video viral, meme, simbol-simbol visual seperti bendera merupakan bagian dari media digital yang sangat cepat dan efisien dalam menyebarkan gagasan menjadi viral. Hal ini membuat seluruh warga dunia sadar dan tertarik dengan apa yang terjadi di Indonesia sekaligus menjadi inspirasi untuk berani melakukan perlawanan kepada penguasa karena merasakan keprihatian yang sama. Setelah sebuah negara melakukan aksi unjuk rasa, maka berdampak pada pergerakan aksi perlawanan di banyak negara yang merasakan kondisi yang sama.
Teori diffusion of innovations juga menjelaskan bahwa sebuah ide baru yang dikomunikasikan melalui media, pertama-tama akan diadopsi oleh innovator atau early adopter. Hal ini sesuai dengan gelombang protes yang terjadi di beberapa negara banyak yang dipimpin oleh generasi Z. Generasi Z menjadi early adopter dari ide perlawan ke penguasa atas ketidakadilan karena mereka sangat terkoneksi dengan dunia digital. Mereka menjadi bagian dari global citizen yang terkoneksi melalui internet dan dibesarkan oleh dunia digital.
Baca Juga: Link Live Streaming Arsenal vs Manchester City di Liga Inggris 2025
Menurut Mc Kinsey& Company, tingkat kecemasan generasi ini cukup tinggi karena selama masa pertumbuhan mereka merasakan isu terkait lingkungan yang memburuk, karantina karena pandemi covid 19, serta ketakutan akan kejatuhan ekonomi. Oleh karena itu generasi ini percaya bahwa mereka secara kolektif dapat berperan serta dalam menghentikan berbagai isu yang terjadi di dunia, termasuk isu keadilan bagi rakyat. Menariknya lagi, di tahun 2025 ini seperampat dari populasi negara-negara di Asia Pasifik berasal dari generasi Z. Oleh karena itu tidak heran jika sebagai early adopter, generasi Z dengan mudah menerima ide perlawan dan menyebarkannya melalui sosial media yang kemudian menginspirasi serta memberikan transfer keberanian kepada generasi Z di negara-negara lain.
Jadi jika disimpulkan dari sudut pandang pemasaran, gerakan unjuk rasa yang nampak menular antar negara bukan hanya fenomena politik atau sosial tetapi fenomena penyebaran ide yang kuat. Gagasan perlawanan dengan isu mengenai ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan kesenjangan ekonomi merupakan isu global yang dirasakan di banyak negara. Koneksi digital lintas negara membuat berita cepat menyebar dan menginspirasi dari satu negara ke negara lain, yang didukung oleh generasi Z sebagai penggerak. (Elisabet Dita Septiari, SE., MSc., PhD, Dosen Manajemen FBE UAJY)