Untuk mewujudkan harmoni akademik, Yogyakarta perlu membangun ekosistem pendidikan inklusif yang memungkinkan setiap institusi berkembang sesuai potensinya. Langkah konkret yang bisa dilakukan (1). Pembentukan Dewan Koordinasi Pendidikan Tinggi DIY yang terdiri perwakilan PTN, PTS, pemerintah daerah dan LLDIKTI untuk merumuskan kebijakan strategis. (2). Program afirmasi bagi PTS kecil melalui bantuan teknis manajemen, akses pendanaan dan fasilitas pengembangan kapasitas. (3). Sistem pemetaan kompetensi yang memungkinkan setiap perguruan tinggi mengembangkan keunggulan spesifik sesuai dengan potensi lokal dan kebutuhan pasar. (4) Optimalisasi peran lembaga yang ada (Forum Rektor Indonesia, LLDIKTI dan APTISI) sebagai mediator dan fasilitator dalam menyelesaikan masalah ketimpangan antar kampus . Lembaga-lembaga tersebut dapat menginisiasi membentuk (a) Forum dialog reguler antara perwakilan PTN dan PTS untuk membahas tantangan bersama dan mencari solusi kolaboratif, (b) Program pendampingan, PTN besar membimbing PTS kecil dalam pengelolaan institusi dan peningkatan kualitas akademik, (c) Sistem pemantauan bersama untuk mengawasi implementasi kebijakan pendidikan tinggi yang adil dan berkeadilan di Yogyakarta.
Ketimpangan pendidikan tinggi di Yogyakarta bukan takdir, melainkan hasil konstruksi sosial yang dapat diubah. Dengan mendekonstruksi mekanisme reproduksi sosial yang bekerja, kita dapat membongkar dominasi PTN dan membangun tata kelola pendidikan yang inklusif, keberagaman institusi adalah kekuatan, bukan ancaman. Sekali lagi ketimpangan antara PTN dan PTS adalah problematika struktural yang perlu pendekatan komprehensif dan kolaboratif dari semua pemangku kepentingan. Transformasi hanya mungkin terjadi ketika kita berani mempertanyakan yang selama ini dianggap taken for granted dan membongkar struktur yang melanggengkan ketidakadilan dalam dunia pendidikan kita. Sebagai kota pelajar Yogyakarta memiliki tanggung jawab moral untuk memelopori terciptanya ekosistem pendidikan yang adil, berkeadilan dan harmonis. (Puji Qomariyah, Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pendidikan SPS-IP UNY)