Dengan demikian, rupiah digital memang menjanjikan efisiensi dan keamanan teknis, tetapi keberhasilannya tidak hanya ditentukan oleh algoritma dan enkripsi, melainkan oleh etika, keadilan, dan akuntabilitas dalam implementasinya.
Pandangan Islam terhadap Uang Digital
Dalam perspektif Islam, setiap inovasi ekonomi harus diuji melalui kacamata maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu sejauh mana kebijakan tersebut membawa kemaslahatan dan mencegah kemudaratan.
Prinsip-prinsip dasar fiqih muamalah menekankan pentingnya kejelasan nilai (qabḍh), keadilan, dan perlindungan harta (ḥifẓ al-māl). Dalam hal ini, rupiah digital dapat diterima secara syariah selama memenuhi tiga syarat utama: pertama, diterbitkan oleh otoritas sah, bukan swasta atau entitas spekulatif; kedua, tidak mengandung unsur riba, gharar, atau maysir; dan ketiga, dikelola secara adil dan transparan agar tidak menimbulkan ketimpangan baru.
Jika dikelola dengan baik, rupiah digital justru dapat memperkuat sistem keuangan Islam. Misalnya, penerapan zakat digital berbasis rupiah digital dapat mempercepat proses penarikan dan distribusi zakat dengan sistem audit otomatis dan data penerima yang terverifikasi.
Begitu pula dengan wakaf produktif, dana dapat disalurkan dan dipantau secara real-time untuk memastikan manfaatnya sampai pada sasaran. Semua ini mendukung tujuan maqāṣid al-syarī‘ah: menjaga harta, menegakkan keadilan, dan menciptakan kemaslahatan sosial.
Namun, bila sistem ini disalahgunakan untuk memperluas kontrol negara atau mengeksploitasi data transaksi umat tanpa batasan hukum yang jelas, maka ia justru berpotensi menyalahi prinsip syariah dan etika publik.
Karena itu, peran Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI), Bank Indonesia, serta lembaga zakat dan wakaf menjadi penting untuk memastikan rupiah digital dijalankan dalam koridor syariah yang tegas. Fatwa dan pedoman etis perlu disusun sejak tahap desain, bukan setelah sistem berjalan. Pengawasan ulama dan akademisi ekonomi Islam menjadi tameng moral agar digitalisasi keuangan tidak kehilangan ruh keadilan.
Pada akhirnya, rupiah digital bukan sekadar proyek teknologi, tetapi ujian moral bagi bangsa dalam mengelola inovasi dengan hati nurani syariah. Bila dijalankan dengan keadilan dan transparansi, ia bisa menjadi keniscayaan yang membawa maslahat besar bagi umat dan negara. Namun, tanpa panduan etika dan keadilan sosial, rupiah digital bisa berubah menjadi sekadar FOMO digitalisasi, modern di permukaan, tetapi rapuh di sisi kemanusiaan dan spiritualitasnya.(*)
Edo Segara Gustanto, Dosen FEBI IIQ An Nur Yogyakarta & Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara (PKAEN).