opini

Kearifan Lokal dalam Penyadaran Bencana

Kamis, 4 Oktober 2018 | 19:08 WIB

BENCANA gempa Lombok masih lekat di ingatan masyarakat Indonesia. Tiba-tiba perhatian kita tersedot pada bencana tsunami di Palu setelah Donggala, Sulawesi Tengah, diguncang gempa bermagnitudo 7,4 SR (sebelumnya disebut 7,7 SR). BMKG mengeluarkan peringatan dini tsunami 5 menit setelah gempa terjadi dan diakhiri pada pukul 17.36 WIB atau 18.36 WITAsetelah mendapat keterangan air telah surut. 

Sebuah rekaman video amatir terjadinya tsunami, beredar cepat di sosial media. Memberikan informasi kepada masyarakat yang berada di luar daerah tersebut. Chatting room whatshapp group ramai dengan pertanyaan seputar kabar terbaru dari daerah bencana berikut doa dan ucapan berbelasungkawa. Kecemasan terasa karena akses komunikasi ke wilayah bencana terputus. Tagar pray for Palu mulai naik di sosial media.

Era Digital

Percepatan persebaran informasi di era digital memiliki sisi negatif dan positif. Pada satu sisi dengan adanya internet dan semakin jamaknya penggunaan sosial media membuat orang dengan cepat mengetahui sebuah berita tentang bencana. Masyarakat bisa sesegara mungkin bertindak untuk memberikan bantuan. Di sisi lain, bersamaan dengan informasi tersebut, hoax tidak jarang turut tersebar di masyarakat hingga menimbulkan kepanikan yang justru makin memperparah keadaan. 

Berita mengenai bencana gempa dan tsunami di Palu mengingatkan penulis pada diskusi yang digelar Center for Southeast Asian Social Studies (CESASS) Universitas Gadjah Mada (21/9/2018). Alfi Rahman PhD, peneliti dari Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syah Kuala menyampaikan hasil penelitiannya terkait bencana tsunami

yang melanda Aceh 2004 silam. Hasil temuan penelitian mengungkap, Pulau Simeulue hanya ada 3 korban jiwa. Sementara data yang dipublikasikan Tsunami Reseach Group Kelompok Penelitian dan Pengembangan Kelautan Institut Teknologi Bandung menyebuktkan korban tsunami Aceh 2004 total mencapai 135.000 jiwa. 

Penelitian Alfi mengungkapkan, masyarakat di Pulau Simeuleu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai tsunami sehingga mereka kemudian bisa menyelamatkan diri dengan baik. Pada 4 Januari 1907 tercatat gempa 7.8 SR melanda Aceh, hampir 70% masyarakat di Simeulue menjadi korban. Berawal dari kejadian ini kemudian nenek moyang mereka mengisahkan tsunami secara turun-temurun yang mereka sebut Smong. Di dalam cerita turun-temurun dengan bahasa lokal mereka, terdapat informasi mengenai tanda-tanda alam akan terjadinya tsunami beserta bagaimana nasihat cara menyelamatkan diri. 

Kearifan Lokal Berkaca pada apa yang terjadi di Pulau Simeulue, kiranya perlu untuk mempertimbangkan kearifan lokal dalam usaha pengurangan risiko bencana. Menciptakan atau memodifikasi syair, dongeng dan nasihat dengan menyelipkan informasi sejarah kebencanaan berikut cara mengatasinya menggunakan bahasa masyarakat lokal. Sehingga apa yang terjadi pada masa sebelumnya bisa menjadi pembelajaran. 

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB