opini

Kedewasaan Warganet di Jagad Siber

Minggu, 18 Februari 2018 | 04:55 WIB

HOAKS, gosip, dan ujaran kebencian kini telah menemukan wujud nyata yang menimbulkan korban berkaitan dengan kekerasan SARA. Minggu (11/2) seseorang merangsek masuk ke dalam gereja saat ibadah sedang berlangsung di kawasan Gamping, Sleman. Insiden itu melukai seorang padri dan beberapa umat yang sedang menjalankan ibadah.

Tidak ada yang kebetulan. Peristiwa kekerasan itu, sebelumnya, didahului ujaran kebencian yang berlangsung massif dan cukup lama lewat sosial media. Para motivator agung seperti Dale Carnegie, Napoleon Hill, John Maxwell, dan Stephen Richard Covey merupakan guru perihal cara paling efektif mempengaruhi manusia. Kendati demikian, pada akhirnya, orang-orang dungu dan pandir yang justru sukses mempengaruhi khalayak lewat hoaks, gosip, dan ujaran kebencian.

Merasa Pintar

Menurut cyberpsycologist Mary Aiken, penulis buku The Cyber Effect (2016), banyak di antara netizen (warganet) reaktif menyebarluaskan berita-berita negatif karena punya self-concept dengan menjadi penyebar pertama kali merasa dirinya lebih pintar ketimbang orang lain. Para penyebar hoaks cenderung judgemental. Wawasan mereka cupet tapi merasa paling benar. Mereka manusia kurang gaul yang senantiasa menempatkan diri sebagai korban. Terasa ada aroma ‘sakit jiwa’ di balik opini-opini negatif yang mereka sebarluaskan. Asal main copas hanya dengan melihat judul. Ingin cepat-cepat dinilai paling pandai. Padahal itu kebodohan besar.

Konten media sosial bentuknya sangat kaya. Kicauan di Twitter tentang gempa bumi. Foto, meme, dan video di Instagram. Curhat terbuka di Face Book. Info grafik di Tumblr. Petisi di Change.org. Jumlah akun aktif pengguna Facebook 1, 968 miliar. WhatApp 1, 2 miliar. YouTube 1 miliar. Facebook Messenger 1 miliar. Instagram 600 juta. Tumblr 550 juta. Twitter 319 juta. Besarnya jumlah pengguna aktif menggambarkan betapa dahsyat situs jejaring sosial dalam membentuk sikap konstruktif maupun destruktif. Keragaman konten itu bisa mendatangkan manfaat sekaligus mudarat bagi warganet.

Facebook pada 2016 dinobatkan Reuters sebagai situs jejaring sosial paling penting bagi nitizen untuk menemukan, membaca, menonton, dan berbagi berita. Semakin banyak khalayak muda yang tidak aktif lagi mencari berita. Mereka hanya membaca berita yang dibagikan temannya di Facebook dan Twitter. Etika dan verifikasi berita merupakan kunci sukses bersosial media.

Etika merupakan kompas moral dalam menghadapi situasi abuabu dan dilema akibat situasi itu. Bisa dikatakan kabar muslihat yang berisi fitnah dan ujaran kebencian melanggar prinsip penulisan dan penyebaran berita. Kegiatan jurnalisme, tanpa kecuali jurnalisme warga (citizen journalism), melalui situs jejaring sosial merupakan aktivitas verifikasi. Akurasi dan fakta yang relevan harus dikedepankan.

Persoalannya bukan lagi banyaknya surat kabar berbasis kertas yang bangkrut melainkan jurnalistik yang terancam. Runtuhnya media berbasis kertas idealis digantikan media industri dan sosmed dengan berita tanpa verifikasi sangat mengancam masyarakat akan hak informasi yang benar.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB