opini

Pemalakan dan Subkultur Preman Cilik

Rabu, 27 Desember 2017 | 11:11 WIB

SOSOK pemalak jangan dibayangkan selalu mantan napi, preman berbadan besar, bertampang garang atau orang berpenampilan menakutkan. Pemalak zaman sekarang ini bisa juga anak-anak yang masih bau kencur, bocah yang berlagak sok jagoan dan mencoba meniru ulah penjahat di film-film untuk memperoleh apa yang mereka inginkan.

Seperti diberitakan Kedaulatan Rakyat (17/12), seorang pelajar SMP dilaporkan telah menjadi korban pemerasan yang dilakukan segerombolan pemalak cilik. Radit (14) siswa kelas 2 sebuah sekolah swasta di Yogyakarta dipalak oleh komplotan ramaja pimpinan Ag. Ia dipaksa untuk menyerahkan sejumlah uang dan dirampas pula jaketnya.

Para pelaku masih di bawah umur. Tetapi karena korban juga anak-anak, mentalnya sudah jatuh gara-gara takut ancaman pelaku. Korban pun hanya bisa bersikap pasrah menuruti perintah pelaku.

Patologis

Aksi premanisme di Indonesia sebetulnya bukan hal yang baru. Berbagai tindakan pemalakan telah biasa terjadi di berbagai komunitas. Di kalangan pelajar, aksi pemalakan juga telah lama menjadi bagian dari kenakalan remaja. Tetapi, aksi pemalakan yang dilakukan preman cilik, belakangan ini ada indikasi makin berani dan melibatkan penggunaan senjata tajam.

Aksi pemalakan yang dilakukan bocah kepada bocah lain tidak hanya terjadi di Yogyakarta. Di Jakarta, Surabaya, Malang dan kota-kota lain, aksi serupa juga kerap terjadi. Secara garis besar, ada tiga faktor yang melatarbelakangi kenapa aksi premanisme dan pemalakan makin marak di kalangan anak-anak.

Pertama, berkaitan dengan subkultur anakanak marginal yang sehari-hari terbiasa dengan kekerasan dan gaya hidup yang keliru. Anakanak marginal yang tumbuh dalam lingkungan sosial yang kurang kondusif umumnya berpeluang tumbuh menyimpang. Dalam keseharian, mereka tidak dididik untuk berperilaku konform, melainkan malah tumbuh dengan kultur resistensi yang serba melawan yang cenderung patologis. Melakukan aksi pemalakan adalah salah satu bentuk perilaku patologis yang mereka lakukan, karena belajar dari lingkungan sosial, yaitu para seniornya yang sebelumnya sudah terbiasa melakukan hal yang sama.

Kedua, berkaitan dengan kepribadian anakanak marginal yang cenderung sok jagoan. Mereka meyakini, berperilaku menyimpang adalah ekspresi dari kadar kejagoan mereka. Anak-anak marginal yang terbiasa menganggap ukuran popularitas adalah keberanian dan tindakan sok jagoan, maka mereka biasanya di bawah sadar akan terdorong melakukan berbagai aksi yang melawan arus, aksi-aksi yang rawan terjerumus dalam tindak kriminal.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB