SEBUAH dialog budaya yang bertemakan ‘Pembangunan Karakter sebagai Basis Keistimewaan DIY,’ menghasilkan kesimpulan bahwa pendidikan karakter sebaiknya berbasis budaya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendidikan yang berbasiskan budaya mampu mengolah cipta, rasa dan karsa anak. Pendidikan karakter berbasis budaya Yogyakarta dapat mengambil nilai-nilai dari Kraton Yogyakarta, Pura Pakualaman bahkan dari Tamansiswa (Kedaulatan Rakyat, 17/7).
Berita ini penting disimak menyambut Hari Guru Nasional, 25 November besok. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah : apakah para guru sudah mengambil dan menerapkan nilai adiluhung dari ketiga tempat pusat kebudayaan tersebut? Apakah guru-guru sudah meneladani nilai-nilai pendidikan yang sejatinya ada di dalam berbagai warisan budaya yang ada, baik yang berupa warisan tertulis, lisan maupun artefak arkeologis?
Pertanyaan diajukan kepada guru lebih karena guru menjadi kunci dari pembaharuan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2015: 206). Artinya kualitas guru menjadi kunci keberhasilan sistem pendidikan. Dalam budaya Indonesia, guru dipahami sebagai guru, pandita, ratu, wongatuakaro. Dari sini saja guru dalam Budaya Jawa bahkan Indonesia umumnya, juga dipandang sebagai seorang pemimpin dalam masyarakat. Guru dalam budaya Jawa adalah ingkang karsa angrancang kapti (orang yang hendak menempuh cita-cita besar).
Guru Berkualitas
Khazanah budaya Jawa kaya akan warisan tertulis yang berisi ajaran luhur sebagai bekal masyarakat dalam menjalani kehidupannya. Warisan tertulis dalam budaya yang berisi ajaran luhur tersebut lazim disebut sastra wulang (pitutur luhur atau nasihat mulia, wuruk atau pelajaran). Biasanya tujuan dalam pemberian nasihat ini disampaikan secara tersirat dalam teks, meskipun ada juga yang tersurat.
Dalam sastra wulang atau piwulang itulah banyak terdapat ajaran, nilai-nilai atau konsepkonsep pendidikan, yang masih sangat relevan untuk masa sekarang. Hal ini penting dikemukakan sebab masih sangat dominan konsepkonsep pendidikan yang diajarkan tidak bersumber pada budaya setempat, akhirnya konsep pendidikan tersebut kehilangan konteksnya.
Terkait konsep guru berkualitas misalnya, ‘Serat Makutharaja’, yang menjadi koleksi Kraton Yogyakarta mengilustrasikan pemimpin dan guru sebagai seorang penunggang kuda. Disebutkan bahwa, seorang penunggang kuda dalam memegang tali kekang dan mengendalikan kudanya harus memiliki tiga syarat, yakni: kajog (ketulusan), sudapraya (mengurangi kesombongan), dan agnya namandra (akal yang berlebih). Jadi seorang guru, menurut sastra wulang ini harus memiliki ketulusan hati dalam mendidik, tidak sombong dan mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup di bidangnya.
Menurut sastra wulang yang lain, misalnya ‘Sastra Ageng Adidarma’ yang menjadi milik Pura Pakualaman, disebutkan bahwa seseorang harus terus belajar, baik dari pengalaman maupun bacaan. Ini dilakukan agar manusia terhindar dari semua halangan dan rintangan di dalam kehidupan yang dijalani (Saktimulya, 2016: 104).