PENGGUNAAN hak angket dan pembentukan panitia angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kepada KPK masih terus bergulir. Bahkan penggunaan hak itu mendapat perlawanan balik dari masyarakat dan KPK sendiri. Masyarakat setidaknya diwakili pakar hukum tatanegara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Moh Mahfud MD. Guru Besar UII ini menilai bahwa hak angket yang ditujukan DPR kepada KPK adalah tidak tepat, karena KPK sendiri bukanlah lembaga eksekutif di bawah presiden.
Secara teoritis, kewenangan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga legislatif hanya ditujukan kepada lembaga eksekutif sebagai pelaksana undang-undang. Sedangkan KPK adalah lembaga independen negara yang menjalankan fungsi peradilan (yudikatif). Maka intervensi terhadap kewenangan KPK merupakan bentuk intervensi terhadap penegakan hukum di Indonesia. Prof Mahfud tidak sendirian. Belakangan muncul banyak dukungan masyarakat baik melalui aksi-aksi maupun pers rilis dari dunia kampus.
‘Judicial Review’
KPK sendiri tidak tinggal diam. Diwakili lima orang pegawai KPK mengajukan judicial review terhadap Pasal 73 ayat (3) UU MD3. Kalau diperhatikan, Pasal 73 ayat (3) UU MD3 memang menimbulkan multitafsir, disebutkan: Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPD dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan.
Dalam hukum administrasi negara, istilah pemerintah mengandung makna yang luas dan sempit. Dalam artian sempit pemerintah hanya mencakup lembaga eksekutif saja yaitu presiden dan kementerian yang berada di bawahnya atau dapat dikatakan sebagai lembaga pelaksana undang-undang. Sedangkan dalam artian luas, pemerintah mencakup semua lembaga negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Maka jika menggunakan terminologi kedua ini, maka hak angket memang dapat ditujukan kepada semua lembaga negara tanpa terkecuali, termasuk kepada Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, bahkan kepada MPR dan DPR sendiri sebagai lembaga legislatif. Pertanyaannya adalah benarkah itu yang dimaksud dalam UU MD3 ini?
Sementara jika menggunakan terminologi pertama, maka pemerintah yang dimaksud hanyalah lembaga eksekutif saja sebagai pelaksana undang-undang dan pembentuk kebijakan negara. Jika menarik kepada historis hak angket yang berujung kepada impeachment presiden, maka terminologi pertama lebih tepat digunakan. Masalah menjadi semakin rumit karena UU MD3 sendiri tidak memberikan batasan terkait dengan siapa saja yang dimaksud pemerintah dalam undang-undang ini.
MK sendiri, lembaga yang diharapkan mampu memecah kebuntuan antara DPR dan KPK ini, putusan terakhirnya menolak putusan sela yang dimohonkan oleh beberapa pemohon. Penolakan atas putusan sela oleh MK memang terbilang aneh. Bagaimana mungkin hak angket tetap berjalan sementara legalitas hak angket terhadap KPK sendiri masih diujikan ke MK? Bagaimana jika misalnya nanti MK menyatakan bahwa hak angket DPR terhadap KPK inkonstitusional padahal prosesnya sudah berjalan? Ataukah memang sudah ëdiatur’sedemikian rupa permohonan KPK nantinya akan dikalahkan?
Memanggil Paksa