HARI Pariwisata diperingati secara global pada hari ini, 27 September. Para ahli, pejabat, dan promotor pariwisata pasti menyebut capaian-capaian positif sektor pariwisata, mulai dari devisa, serapan tenaga kerja, hingga perbaikan infrastruktur yang fantastis. Paling tidak bukti statistik sudah menegaskan pertumbuhan pariwisata terus naik, baik di tataran internasional maupun nasional.
Barangkali ada baiknya juga sedikit membuka ruang perenungan. Ketika ukuran kuantitatif mampu menebar optimism. Pada saat yang sama ukuran kualitatif condong kehilangan makna. Pengamat terpana angka sekaligus lupa pada makna.
Bukan maksud untuk menyangkal capaian positif tadi. Toh pertanyaan masih tersisa banyak dan elementer. Siapa yang menikmati surplus ekonomi sektor pariwisata yang menggelembung itu? Apakah timbunan devisa sukses menggusur kemiskinan? Semakin merata atau timpangkah pendapatan masyarakat?
Pengurangan Kemiskinan
Pertanyaan ini sulit dijawab dengan bukti-bukti empirik. Promotor utama pariwisata global setenar UNWTO sekalipun jarang menyodorkan analisis yang akurat tentang berapa persen penduduk miskin yang dientaskan sektor pariwisata di suatu destinasi. Satu dua, jika ada, sifatnya hanya kasuistik sehingga tidak dapat dijadikan sebagai model yang umum.
Inilah tugas besar pariwisata global. Indonesia sendiri tidak bisa mengelak dari tantangan nyata itu. Tuntutan untuk membuktikan pariwisata sebagai alat pengurangan kemiskinan sangat fundamental dan legal karena undang-undang memerintahkan demikian. Kesuksesan pariwisata kita diukur dari kemampuannya mencapai tujuan yang diamanatkan undang-undang.
Bukan suatu kebetulan, pengurangan kemiskinan juga merupakan satu dari 17 target pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals – SDGs).
Lalu bagaimana pariwisata mengambil peran strategis dalam pencapaian target tersebut? Di sini fungsi pariwisata tidak lagi terbatas menjadi mesin pertumbuhan semata, tetapi bergeser jadi lokomotif distribusi modal, akses, ketrampilan, pendapatan, dan daya tawar bagi masyarakat.