opini

Membangun Poros Batin Mekah-Nusantara

Kamis, 31 Agustus 2017 | 17:56 WIB

SYAHDAN, para wali penyebar Islam di tanah Jawa tidak sepakat tentang arah kiblat Masjid Demak. Delapan wali bermusyawarah dan memohon agar Allah memberi pencerahan. Mereka melihat Kabah dengan terang dan mengarahkan Masjid Demak ke arah kiblatnya. Namun waliwali yang lain tidak setuju. Mereka mencoba mengubah kiblat ke kiri, ke kanan, namun tetap tidak tercapai kata mufakat tentang arah kiblat masjid Demak.

Tiba-tiba Sunan Kalijaga dapat meletakkan satu kaki dekat tembok Kabah di Mekah, dan satu kaki lagi dekat masjid Demak, ia merentangkan tangannya, tangan kanan di atas Kabah. Tangan kiri di atas Masjid Demak, lalu merapatkan keduanya hingga arah kiblat dapat ditentukan dengan sempurna.

Dalam cerita lain, Sultan Agung disebut sering bolak-balik ke Mekah untuk menunaikan Salat Jumat. Begitu juga Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Hal yang sama juga dilakukan oleh Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan, Syaikh Yusuf Makkasar, dan Haji Mangsur dari Banten, yang diceritakan terbiasa pergi ke Mekah untuk salat Jumat dengan terbang (Chambert-Loir, 2013).

Lazim dalam cerita-cerita masyarakat Muslim Nusantara, tokoh-tokoh tertentu, seperti para wali maupun sultan-sultan di Jawa tampak mudah saja dan sekejap mata mampu untuk sampai ke Mekah. Namun, sesungguhnya jika melihat cerita-cerita tersebut dengan perspektif yang lebih substantif, yang mendasari berbagai cerita tersebut adalah justru pengakuan tentang kedudukan Mekah sebagai pusat dunia bagi masyarakat Muslim.

Pusat Keagamaan

Orang Nusantara sudah berhubungan dengan negeri Mekah sebagai tujuan ibadah haji sejak awal Islam mulai diperkenalkan melalui Pasai dan Malaka (ibid hal 7). Posisi Mekah sebagai pusat keagamaan, dan keilmuan hingga kini masih memiliki daya tarik tersendiri. Setiap tahun masyarakat Muslim Indonesia mengunjungi tanah haram untuk menunaikan ibadah haji.

Sultan-sultan di Jawa pun mengakui Mekah sebagai pusat keagamaan, politik dan keilmuan Islam. Menurut legenda, Sultan Agung membangun situs pemakaman Imogiri berasal dari tanah yang diambil dari Mekah. Sultan Agung juga mendirikan sebuah rumah pemondokan di Mekah untuk menampung jemaah haji dari Mataram. Bahkan duabelas orang haji ditunjuk sebagai pembantu penghulu istana (ibid: 24-25).

Tidak hanya sebagai pusat keagamaan dan rujukan legimitasi politis, Mekkah juga sebagai pusat tujuan rihlah ilmiah orang Jawi (Nusantara) pada masa dahulu (Azra, 2006: 217). Setelah selesai menunaikan ibadah haji, para jemaah haji tetap tinggal di Mekkah untuk memperdalam ilmu agama Islam sebelum akhirnya pulang ke tanah air. Tercatat di antaranya nama Kiai Haji Hasyim Asyari dan Kiai Haji Ahmad Dahlan sebagai tokoh-tokoh penting yang pernah mukim di Mekkah untuk mencari ilmu dan pahala.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB