Rendahnya rasa percaya diri dan mulai lunturnya jati diri sebagai bangsa merdeka menjadi keprihatinan kita. Seolah-olah kebanggaan sebagai bangsa hampir tidak tersisa. Jikapun masih ada kebanggaan itu, kebanggaan semu yang sesungguhnya sekadar alat memenuhi keinginan-keinginan individual. Betapa tidak malu menawarkan diri agar dipilih untuk berkuasa dengan mengatasnamakan demokrasi. Di permukaan tampak sebagai percaya diri, tetapi sesungguhnya kamuflase untuk terpenuhinya kepentingannya.
Sikap mental inlander bentukan kolonial terwariskan sangat kokoh menjadi salah satu sebab rendahnya rasa percaya diri. Contoh paling anyar digunakannya wasit asing memimpin pertandingan sepak bola Liga 1 di Indonesia. Lepas dari kesepakatan dengan federasi sepak bola yang ada, penggunaan wasit asing sesungguhnya keraguan atas kompetensi sumber daya wasit yang dimiliki. Celakanya, para pemain di lapangan tampak jauh lebih patuh dan sangat respek dengan keputusan-keputusan wasit asing itu.
Pendidikan mengemban tugas menumbuhkan watak percaya diri yang didasari oleh pemahaman makna hakiki kemerdekaan kepada anak didik. Pilar utama penumbuhan watak percaya diri adalah jujur, tertib, disiplin, dan makarya. Tidak ada kemerdekaan tanpa kemandirian dan tidak ada kemandirian tanpa makarya. Dengan makarya tidaklah sulit untuk mandhireng pribadi. Kemerdekaan itu sesungguhnya berbatas. Batasnya adalah kemandirian pantang melanggar kesusilaan, pantang menyalahgunakan wewenang, dan pantang menyelewengkan keuangan.
(Ki Sugeng Subagya. Pamong Tamansiswa. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 16 Agustus 2017)