opini

Merdeka Atau Mati?

Rabu, 16 Agustus 2017 | 08:37 WIB

REFLEKSI kemerdekaan harus melihat sejarah bahwa sebenarnya umat manusia sudah merdeka sejak dulu. Memaknai kemerdekaan dalam konteks membebaskan dari belenggu penjajah bisa ditelaah dari sisi waktu dan sejarah. Hampir setiap negara memiliki sejarah dan hari kemedekaan termasuk di Indonesia yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun memaknai kemerdekaan secara 'radikal' meengandung banyak makna termasuk memaknai merdeka dari sisi kesadaran literasi. Ada relevansi yang bisa ditarik dari momentum proklamasi karena 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan 1364 H atau bulan turunnya Al Quran.

Secara kuantitas, bangsa Indonesia yang dikenal mayoritas muslim sebenarnya sudah merdeka sejak Nabi Muhammad diutus sebagai pemimpin. Kemerdekaan umat Islam lebih sempurna karena wahyu pertama yang diturunkan bersifat 'perintah kemerdekaan' yakni Iqra atau bacalah. Jika dijabarkan secara filosofis, wahyu pertama kepada Muhammad bukan perintah Ubudiyah (menyembah kepada Tuhan) bukan juga soal Ukhkuwah (persaudaraan antar manusia) melainkan perintah membaca agar merdeka dari belenggu kebodohan, merdeka dari belenggu penjajahan, bahkan merdeka dari belenggu propaganda.

Kata Iqra dalam struktur bahasa Arab adalah fiil amar atau bersifat perintah. 'Perintah kemerdekaan' ini sangat mulia karena membawa transformasi peradaban cerdas. Namun ironis, 14 abad berlalu wahyu pertama ini banyak diabaikan. Sebagian umat terjebak dalam perdebatan hitam-putih. Beragama kian arogan, bahkan cenderung ekstrim menghakimi keimanan sesama agama. Refleksi kemerdekaan perlu direformasi dengan perintah Iqra. Jika ini disadari secara menyeluruh, kebiasaan menyebarkan informasi fitnah dan saling klaim kebenaran akan berkurang seiring kesadaran untuk membaca. Harus disadari tren untuk beradu argumen yang tidak produktif sedang menggandrungi masyarakat. Sebuah wacana apakah dari pemerintah ataupun dari masyarakat pun 'dihabisi' dengan fitnah, termasuk polemik dana haji yang tidak bisa dibedakan antara 'investasi untuk infrastruktur' dengan 'belanja infrastruktur'. Demikian halnya dengan kecenderungan pola pikir narsisme, bahwa jika ada kelompok yang mengkritik Perppu ormas berarti tidak Pancasila.

Lunturnya kesadaran untuk membaca (menelusuri sumber kebenaran) membuat kemerdekaan hanya sebatas verbal. Berdasarkan studi Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Merdeka atau mati (membaca)?

Keterbelakangan pembangunan indonesia harus diakui karena kesadaran masyarakat yang belum meng-upgrade pola pikir. Kita lebih gemar berdebat daripada bergerak. Media sosial akan terus menghantui pola pikir masyarakat yang belum bijak. Sampai kapanpun, politik dan perebutan kekuasaan tetap menggunakan isu-isu yang tidak bermoral. Seharusnya momentum perayaan kemerdekaan menjadi momentum pergerakan menuju peradaban Indonesia sebagai kekuatan baru.

Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan ekonomi Indonesia triwulan II-2017 terhadap triwulan II-2016 tumbuh 5,01 persen (y-on-y). Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh hampir semua lapangan usaha termasuk pesatnya sektor telekomunikasi. Sebelumnya pada Kamis 27 Juli lalu dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2017 di Jakarta, Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia memasuki era inflasi rendah. Tercatat dalam dua tahun terakhir laju inflasi secara nasional di kisaran 3%. Demikian halnya dengan pembangunan infrastruktur di sektor transportasi dan pertanian yang bergerak pesat. Di sektor migas, penyeragaman harga Bahan Bakar Minyak sebagai bagian dari sila kelima-keadilan sosial sudah berjalan. Namun terlepas statistik yang membaik, bagaimanapun pemerintah perlu diawasi. Impor garam dan rasio utang adalah kebijakan yang harus diambil secara hati-hati.

Motor pembangunan Indonesia terus bergerak menuju transformasi peradaban baru. Peradaban yang  perlu dukungan dengan pola pikir rasional. Kuncinya adalah memerdekakan cara berpikir dengan iqra. Dengan keterbukaan berpikir maka terbentuklah fondasi pikiran yang sehat. Isu-isu sesat tentang agama yang dibumbui dengan arogansi politik lambat laun akan memudar. Inilah makna kemerdekaan yang dibutuhkan Indonesia untuk menyaingi India dan Malaysia dengan kekuatan ekonomi digital.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB