opini

Teladan Bangsa

Sabtu, 12 Agustus 2017 | 22:56 WIB

MERDEKA atau mati! Inilah pekik para pejuang bangsa ketika menghadapi kolonialisme yang rakus dan bengis ketika itu. Ada memang sekelompok orang Hindia Belanda yang memilih menjadi antek dan cecunguk Belanda, sang penjajah ketika itu. Tetapi, sebagian besar warga Hindia Belanda ingin merdeka dari penjajah. Inilah nasionalisme yang kuat oleh sebagian besar warga Nusantara, sehingga kita sekarang menikmati kemerdekaan yang telah berusia 72 tahun.

Jiwa besar pendiri bangsa yang beragam telah menjadikan bangsa ini merdeka dari penjajahan yang mengisap seluruh kekayaan negeri. Para pendiri bangsa harus kita kenang dan hormati jasanya, sehingga bangsa ini tidak menjadi bangsa yang pikun atas perjuangan masa lalu yang sangat heroik dan penuh dengan pengorbanan.

Pengorbanan jiwa dan raga tidak pernah meminta penghargaan maupun puji-pujian. Hanya generasi yang tuna hati dan tuna akal sehat yang tidak bersedia menghargai perjuangan, pengorbanan dan ketulusan para pendiri dan pejuang bangsa ini. Penghormatan dan penghargaan pada pejuang dan teladan bangsa haruslah dilakukan generasi sekarang tanpa diminta. Inilah ciri bangsa yang memiliki adab.

Para pejuang dan pendiri bangsa telah menciptakan kebersamaan yang tidak tergadaikan. Para pendiri bangsa telah berdebat hebat untuk merumuskan dasar negara bahkan bentuk negara yang waktu itu masih sangat muda. Kebersamaan yang sangat kuat pendiri bangsa membuatnya tidak bersifat egois karena etnisitas, agama atau pun kelas sosial.

Dengan demikian tidak pantas bila sekarang ada sekelompok orang yang mengaku paling berjasa dalam mengisi kemerdekaan. Kita harus mencontoh teladan para pendiri bangsa yang telah bersuara keras dan lantang di hadapan penjajah untuk kemerdekaan RI. Kita mesti belajar kearifan dari para pendiri bangsa dalam memperjuangkan hak warga negara.

Adalah sebuah pengkhianatan sejarah jika ada warga negara yang enggan hormat dan menghargai para pendiri bangsa dengan kehendak mengubah bentuk negara dan dasar negara yang telah menjadi kesepakatan bersama para pendiri bangsa. Pancasila adalah ijma para ulama dan pendiri bangsa yang sesuai dengan ajaran agama (Islam sebagai mayoritas). Ijma ulama dan pendiri bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar-asas berbangsa dan bernegara merupakan suatu yang harus dipertahankan.

Pancasila tentu bukan agama. Pancasila tidak akan menggantikan agama apapun termasuk Islam yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Pancasila adalah panduan hidup warga negara Indonesia untuk berbangsa dan bernegara bukan untuk menggantikan kaidah-kaidah keagamaan. Jika ada sekelompok masyarakat mengatakan, Pancasila menggantikan agama, jelas bertentangan dengan para pendiri bangsa.

Para pendiri bangsa telah membangun persatuan untuk berbangsa bernegara dengan membuat kesepakatan politik tentang dasar negara atau asas berbangsa dan bernegara. Ijma politik pun bukanlah kekalahan umat mayoritas. Inilah bukti keteladanan pendiri bangsa yang sangat saleh, jujur, ikhlas serta tidak berpretensi untuk dihormati atau dipuja-puja penerus bangsa.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB