SEBENARNYA, apa dan siapa yang menggerakkan perilaku mudik? Sedemikian dahsyatnya migrasi regular, sekali setahun, yang menggerakkan dan menggerahkan seluruh sendi kehidupan. Mudik, melepas energi dan kapital mahal, dalam skala besar. Jutaan orang bersama keluarganya, bergerak menyusun gelombang arus lawatan fisik, mental, dan spiritual antar wilayah.
Mudik, ritual migrasi tahunan yang dahsyat. Mudik, salah satu bentuk panen buahbuah urbanisasi. Konsekuensi logis dari mobilitas sosial secara kewilayahan daratan (agraris). Istilah yang digunakan pun mudik, dari kata udik. Mudik, menuju udik atau ëpedalaman’. Bukan dalam terminologi kultur pelayaran (maritim) yang akrab dengan istilah hulu dan hilir. Mudik, prosesi kepulangan bersama yang makan risiko ongkos besar. Karena terus dijalani, meski berisiko ongkos tinggi, maka mudik pasti punya misteri-misteri atas keterjagaan hasrat pulang Lebaran. Misteri itu, sulit dijelaskan dengan kalkulasi transaksional, lebih sebagai peristiwa budaya yang bisa dijelaskan melalui kalkulasi transendental.
Penggerak Mudik
Mencari apa dan siapa yang menggerakkan perilaku mudik, sulit menemukannya. Tapi patut diduga, mudik digerakkan oleh tangan-tangan utusan dari mereka yang takut kehilangan dahsyatnya efek berganda perilaku mudik massal. Di balik peristiwa mudik massal, berikut efek-efek sampingnya, terdapat begitu banyak pihak yang menangguk keuntungan. Telah tercipta sebegitu banyak pihak yang takut kehilangan momentum mudik Lebaran.
Perlahan tapi pasti, suatu saat nanti, volume perilaku mudik massal pada momentum Lebaran akan terus berkurang. Di samping karena perubahan nilai dan penetrasi rasionalitas keekonomian, juga peranan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan terus menyediakan ruang-ruang perjumpaan berbasis space digital yang bebas waktu. Sebab lain, keterikatan dengan tabon dan tanah wutah getih, kian berkurang. Orangtua, sanak saudara dekat, tak lagi tinggal di tanah kelahiran.
Batas-batas kultur desa dan kota makin dekat, beserta pembeda sosial kota-desa makin tipis. Serta pula, fasilitas mobilitas antar wilayah makin mudah dan murah, sehingga mudik dapat dilakukan sewaktu-waktu, kalau memang masih dipandang perlu. Sekarang pun sudah mulai terasa, orangtua justru berlebaran di rumah kerabat di perantauan (baca: kota), tempat anak keturunannya banyak tinggal. Suatu saat akan ada generasi keturunan kaum urban, kelahiran rantau, yang tidak tahu lagi akan mudik ke mana.
Malioboro : Mudiklah
Mudik, ekspresi terindah urbanis. Setiap orang desa, udik, dalam tradisi agraris Jawa, harus siap bara atau bebara untuk mencapai taraf hidup layak. Bebara, pergi ke luar desa (merantau) mencari penghidupan dengan bekerja. Mudik, kepulangan para perantau yang sukses dalam bebara, mengais rejeki.