opini

Mudik dan Pesan Malioboro

Senin, 19 Juni 2017 | 23:59 WIB

SEBENARNYA, apa dan siapa yang menggerakkan perilaku mudik? Sedemikian dahsyatnya migrasi regular, sekali setahun, yang menggerakkan dan menggerahkan seluruh sendi kehidupan. Mudik, melepas energi dan kapital mahal, dalam skala besar. Jutaan orang bersama keluarganya, bergerak menyusun gelombang arus lawatan fisik, mental, dan spiritual antar wilayah.

Mudik, ritual migrasi tahunan yang dahsyat. Mudik, salah satu bentuk panen buahbuah urbanisasi. Konsekuensi logis dari mobilitas sosial secara kewilayahan daratan (agraris). Istilah yang digunakan pun mudik, dari kata udik. Mudik, menuju udik atau ëpedalaman’. Bukan dalam terminologi kultur pelayaran (maritim) yang akrab dengan istilah hulu dan hilir. Mudik, prosesi kepulangan bersama yang makan risiko ongkos besar. Karena terus dijalani, meski berisiko ongkos tinggi, maka mudik pasti punya misteri-misteri atas keterjagaan hasrat pulang Lebaran. Misteri itu, sulit dijelaskan dengan kalkulasi transaksional, lebih sebagai peristiwa budaya yang bisa dijelaskan melalui kalkulasi transendental.

Penggerak Mudik

Mencari apa dan siapa yang menggerakkan perilaku mudik, sulit menemukannya. Tapi patut diduga, mudik digerakkan oleh tangan-tangan utusan dari mereka yang takut kehilangan dahsyatnya efek berganda perilaku mudik massal. Di balik peristiwa mudik massal, berikut efek-efek sampingnya, terdapat begitu banyak pihak yang menangguk keuntungan. Telah tercipta sebegitu banyak pihak yang takut kehilangan momentum mudik Lebaran.

Perlahan tapi pasti, suatu saat nanti, volume perilaku mudik massal pada momentum Lebaran akan terus berkurang. Di samping karena perubahan nilai dan penetrasi rasionalitas keekonomian, juga peranan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan terus menyediakan ruang-ruang perjumpaan berbasis space digital yang bebas waktu. Sebab lain, keterikatan dengan tabon dan tanah wutah getih, kian berkurang. Orangtua, sanak saudara dekat, tak lagi tinggal di tanah kelahiran.

Batas-batas kultur desa dan kota makin dekat, beserta pembeda sosial kota-desa makin tipis. Serta pula, fasilitas mobilitas antar wilayah makin mudah dan murah, sehingga mudik dapat dilakukan sewaktu-waktu, kalau memang masih dipandang perlu. Sekarang pun sudah mulai terasa, orangtua justru berlebaran di rumah kerabat di perantauan (baca: kota), tempat anak keturunannya banyak tinggal. Suatu saat akan ada generasi keturunan kaum urban, kelahiran rantau, yang tidak tahu lagi akan mudik ke mana.

Malioboro : Mudiklah

Mudik, ekspresi terindah urbanis. Setiap orang desa, udik, dalam tradisi agraris Jawa, harus siap bara atau bebara untuk mencapai taraf hidup layak. Bebara, pergi ke luar desa (merantau) mencari penghidupan dengan bekerja. Mudik, kepulangan para perantau yang sukses dalam bebara, mengais rejeki.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB