TRAGEDI bom kembali mengguncang. Yang satu di Manchester Inggris yang lain di Kampung Melayu Jakarta. Ada korban luka, juga korban meninggal. Korban yang kehilangan rasa aman jauh lebih banyak. Luka dan korban dalam bom, adalah luka sejarah. Semua mesti waspada dan terus menggelorakan perdamaian dalam setiap saat.
Bom ini menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam menggalang gerak perdamaian yang dalam semua sektor. Etos gerak perdamaian harus dimulai dari bawah, bukan hanya kaum elite saja. Mengapa? Karena kekerasan masih selalu menyelimuti mendung langit kota-kota di Indonesa. Semua daerah di berbagai wilayah terus bergolak, bahkan Jakarta justru hadir dengan wajah kekerasan yang sangat beragam.
Kekerasan selalu menyisakan duka dan trauma yang tak berkesudahan. Kekerasan selalu menghadirkan darah, pembunuhan, tangisan, dan kecemasan. Sayangnya, kekerasan seringkali dikaitkan dengan agama. Agama akhirnya menjadi titik yang paling mengejutkan: di satu sisi dipenuhi dengan darah, sementara di sisi lain penuh dengan kasih sayang.
Agama akhirnya hanya dipolitisasi, dan ironisnya sekadar untuk meraih kekuasaan. Sepertinya membenci agama, tetapi justru memainkan untuk menguasai. Lihat saja kasus Afghanistan, Irak, dan lainnya. Atas nama apapun, mereka menjadi korban tirani kekuasaan atas nama agama dan kekerasan.
Umat manusia harus menyudahi politisasi arus kekerasan global. Masih banyak (bahkan mayoritas) umat beragama yang selalu menyuarakan perdamaian dan kasih sayang. Yang mesti dilakukan bersama adalah menggerakkan masa depan peradaban dunia dengan nilai-nilai luhur yang berpijak dalam agama dan sejarah Nusantara. Semangat inilah yang mesti dibangun bersama, sehingga menyudahi politisasi kekerasan dan menghadirkan wajah peradaban yang manusiawi dan berkeadaban.
Nilai Luhur
Ada banyak hal yang bisa digerakkan untuk membangun kemaslahatan dan nilai luhur. Bagi Bangsa Indonesia, Islam yang lahir adalah Islam yang berdialektika dengan tradisi Nusantara. Menurut KH Ma’ruf Amin (2015), ada lima hal krusial yang bisa dijadikan penanda bagi Islam di Nusantara untuk menegakkan kemaslahatan bagi bangsa tercinta ini. Pertama, reformasi (islahiyyah). Artinya, pemikiran, gerakan, dan amalan yang dilakukan selalu berorientasi pada perbaikan. Pada aspek pemikiran, misalnya, selalu ada perkembangan di sana (tatwir alfikrah), dan karena itu, pemikiran Islam Nusantara adalah pemikiran yang ditujukan untuk perbaikan terus. Cara berpikirnya adalah tidak statis dan juga tidak kelewat batas.
Kedua, tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Jika sebuah gerakan diimplementasikan, maka aspek keseimbangan juga harus dijadikan pertimbangan. Tawazunniyyah ini menimbang dengan keadilan. Ketiga, tatawwu’iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Satu hal yang harus dipegang dalam kesukarelaan ini adalah dalam menjalankan pemikiran, gerakan dan amalan, nahdliyin tidak boleh memaksakan pada pihak lain (la ijbariyyah). Tidak ada pemaksaan, tetapi bukan tidak berbuat apa-apa.