opini

Mengkaji Revisi SM-3T dan PPG

Sabtu, 6 Mei 2017 | 11:51 WIB

KEHANCURAN Jepang dalam Perang Dunia II tidak lantas membuat Nippon patah arang. Di antara reruntuhan puing, di tengah sisa desing peluru berpadu pekat aroma mesiu, Sang Kaisar lekas mencari dan menghimpun guru. Di pundak guru kaisar meniscayakan asa kebangkitan.

Dalam gurat sejarah Indonesia, guru juga tercatat memiliki andil besar dalam mendirikan entitas bangsa yang mahardika. Tercatat Ki Hadjar Dewantara, KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, Soedirman, HOS Tjokroaminoto hingga Bung Karno, pernah mengabdikan diri sebagai guru. Para founding fathers tersebut berprofesi sebagai guru, bukan saja dalam artian konotatif, melainkan juga denotatif. Mereka juga mengajar, menyemai ilmu pengetahuan, menebar khazanah ihwal nasionalisme dalam balut kejuangan.

Sejarah membuktikan bahwa pendidikan -- dengan guru sebagai ujung tombak -- merupakan faktor fundamental penentu jaya-binasanya sebuah bangsa. Tidak berlebihan jika guru ditahbiskan sebagai profesi agung lagi adiluhung. Bahkan dewasa ini, di tengah era globalisasi dan tunggang-langgang laju teknologi, guru tetap menduduki posisi penentu ‘mati atau muktinya’ kualitas manusia. Bedanya, guru masa kini juga dituntut memiliki empat kompetensi --kepribadian, sosial, pedagogi, dan profesional--yang harus dikuasai secara holistis. Profesionalisme guru di abad ke-21 adalah keniscayaan yang tidak bisa dinegosiasi.

Problema

Sejatinya, problema pendidikan di Indonesia tidak hanya berhulu pada ketidaktersediaan guru profesional, tetapi juga menyangkut kesenjangan pembangunan pendidikan antara kota dan daerah pelosok. Permasalahan pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) yang berkaitan dengan tenaga pendidik dan kependidikan antara lain : kekurangan guru, distribusi guru tidakseimbang, kualifikasi di bawah standar, kurang kompeten, serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu.

Untuk itulah sejak 2011, pemerintah mengimplementasikan program Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T) yang koheren dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG). SM-3T merupakan wahana pengabdian para sarjana pendidikan yang dilaksanakan di pelosok nusantara. Setelah menunaikan pengabdian selama setahun di daerah 3T, peserta SM-3T akan langsung mengikuti PPG berasrama. Program ini diharapkan dapat menjadi trigger untuk mencipta guru profesional.

Kini regulasi program SM-3T PPG hendak direvisi oleh Kemenristekdikti (KR, 21/4). Ada beberapa alasan yang jadi pertimbangan. Di antaranya adalah peserta SM-3T belum memiliki sertifikat profesi guru. Padahal UU Guru dan Dosen mempersyaratkan seorang guru wajib bersertifikat. Selain itu, Indonesia saat ini mengalami kekurangan 300 ribu guru. Sementara rata-rata kuota SM-3T PPG hanya 3.000 peserta per tahun. Artinya, Indonesia butuh waktu seribu tahun untuk memenuhi kebutuhan guru profesional. Oleh karena itu, pemerintah berupaya melakukan tambahan kuota untuk mencipta guru profesional, salah satunya --meski masih sebatas wacana-- adalah dengan membuka program PPG Reguler (tanpa harus melalui tahap SM-3T?).

Sosialisasi SM-3T

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB