opini

Selamat, Rektor Baru UGM

Jumat, 21 April 2017 | 22:51 WIB

DENGAN terpilihnya Prof Panut Mulyono, pada sidang MWAUGM 17 April lalu, wajah baru kepemimpinan UGM pun bergulir. Tentu banyak rencana dan beban yang dihibahkan ke pundak rektor baru. Tuntutan agar UGM masuk 500 besar dunia terus berdengung. Wacana mengembalikan UGM pada jati dirinya, peneguhan kewibawaan akademik, signifikansi peran UGM dalam proses pembangunan nasional, dan sebagainya. Semua masih menggantung bagai mendung.

Seperti rektor-rektor sebelumnya, susah menjadi rektor itu. Di antara sekian banyak rencana, program, dan catatan-catatan hasil rapat : hidup kita, masyarakat Indonesia terus berlangsung dalam dinamikanya sendiri. Politik yang semakin vulgar terus melenggang. Pembangunan tambal sulam masih berlangsung. Korupsi merajalela. Bahkan klithih bergentanyangan.

Terkooptasi Kapitalisme

Anggaplah kesanggupan aksi lima tahun terhitung tahun ini, UGM masuk 500 besar dunia. Kita tahu, bahwa situasi lima tahun lagi sudah berubah, prioritas sudah berbeda. Setiap universitas di mana pun juga memacu dirinya. Segala sesuatu dengan cepat terlihat jadul. Bahkan yang pernah meminta atau menganjurkan, mungkin sudah tidak dalam posisi pejabat.

Artinya, bisa jadi apa yang kita rencanakan hari-hari ini, lima tahun mendatang sudah tidak relevan. Artinya lagi, perlu prioritas-prioritas yang strategis yang tak lapuk tak lekang karena perubahan konteks dan situasi. Apa marwah UGM yang sesungguhnya?

Hal awal yang ingin diingatkan kepada rektor baru, jangan sampai UGM terus menerus terkooptasi oleh kekuatan kapitalisme. Sistem dan mekanisme peringkat adalah bursa kapitalisme. Kecintaan terhadap peringkat, sungguh prioritas yang menjemukan. Siapa yang menikmati peringkat? Apa kontribusi peningkatan peringkat, misal, jika jalan-jalan di Yogya tambah macet? Apa makna peringkat jika UGM tidak berkontribusi terhadap peningkatan kesejateraan dan kenyamanan umum.

Apa pentingnya peningkatan peringkat jika UGM menjadi jauh dari hati masyarakat. Apa artinya ilmu pengetahuan dalam sistem kapitalisme jika UGM semakin eksklusif, dan hal yang dipelajarinya tidak berhubungan dengan moralitas dan integritas kepribadian mahasiswa dan para sarjananya? Dalam bahasa yang lebih sederhana, apa arti universitas sekelas UGM jika tidak mampu membangun masyarakat yang berbudaya.

Membangun kewibawaan akademik tentu sangat penting. Akan tetapi, itu bukan berarti meniru universitas di Amerika atau Eropa. Mereka mengembangkan sejarah dan tradisi keilmuan sesuai dengan historisitas keilmuan yang telah berlangsung ratusan tahun di lokalnya masingmasing. Sementara, tradisi keilmuan khas Nusantara terputus. Dimensi spritualitas dan moralitas ilmu pengetahuan kita yang telah berlangsung ratusan tahun terjegal karena kita masuk dalam sistem kapitalisme modern, yang di Barat adalah lokal-lokalnya.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB