opini

Yogyakarta City of Philosophy

Sabtu, 15 April 2017 | 23:15 WIB

YOGYAKARTA City of Philosophy yang diajukan Pemda DIY akhirnya ditetapkan sebagai daftar sementara UNESCO. Proses ini tidak mudah karena tidak setiap kota atau daerah memiliki kawasan yang unik penuh filosofi ini. Sumbu filosofis Yogyakarta meliputi dari sisi Selatan menuju Utara, yaitu dari Panggung Krapyak-Keraton Yogyakarta-Tugu Pal Putih atau Tugu Yogya.

Sultan Hamengku Buwono I menjadikannya sebagai konsep sangkan paraning dumadi. Artinya, nilai filosofisnya terletak pada perjalanan manusia sejak dilahirkan hingga dewasa, menikah, melahirkan anak, dan mempunyai kekuasaan (dari Panggung Krapyak menuju Keraton). Kemudian dilanjutkan dengan perjalanan manusia menghadap Sang Khalik (perjalanan dari Keraton ke Tugu). Sedangkan sumbu imajiner adalah garis lurus yang menghubungkan antara Gunung Merapi-Tugu Pal Putih-Keraton Yogyakarta-Pantai Parangtritis.

Penetapan ini menjadi istimewa karena di negeri ini, warisan dunia yang berbentuk kawasan belum ada. Yogya memang cukup berhasil melestarikan kawasan tersebut. Namun yang perlu dicatat, masih banyak ‘pencemaran’ berwujud bangunan yang berada di lingkup tersebut seperti rumah dan bangunan yang tidak lagi khas Jawa, maupun pusat-pusat bisnis lainnya.

Di negeri ini, berbagai ‘pembunuhan sejarah’ telah berlangsung massif dengan merujuk kepada beberapa fakta karena hancurnya kenang-kenangan yang bersejarah. Fenomena ini tentu saja berkaitan dengan pertumbuhan dan perubahan suatu kota. Munculnya pusat-pusat pertumbuhan di sebuah kota, mampu menimbulkan akibat lain yakni matinya aktivitas lain seperti terbengkalainya kenang-kenangan bersejarah yang sebetulnya sangat berguna bagi pelacakan nilai-nilai sejarah sebuah kota.

Nilai-nilai sejarah tersebut merupakan sebuah aset raksasa yang tiada ternilai harganya, unik, yang seringkali mampu mengungkapkan sejarah peradaban kita. Tidak dapat dibayangkan berapa ratus miliar rupiah biaya yang mesti dikeluarkan bila kita ingin membangun lingkungan selengkap itu.

Kevin Lynch dalam The Image of the city mengemukakan objek dan lingkup konservasi sebagai berikut : pertama, Satuan Areal. Yakni satuan dalam kota yang dapat berwujud sub wilayah kota, bahkan keseluruhan kota tersebut, sebagai suatu sistem kehidupan. Hal ini dapat dilaksanakan pada bagian kota tertentu yang dipandang mempunyai ciri-ciri atau nilai khas kota yang bersangkutan.

Kedua, Satuan Pandangan, yakni satuan yang dapat mempunyai arti dan peran yang penting bagi suatu kota. Satuan ini berupa aspek visual yang dapat memberi bayangan mental atau image yang khas tentang sesuatu lingkungan kota. Dalam satuan ini ada lima unsur pokok yang penting, yakni : jalur (path) tepian (edges) kawasan (district), pemusatan (node), dan tengeran (landmark). Termasuk ke dalam golongan ini adalah jaringan fungsional.

Ketiga, Satuan Fisik, yakni satuan yang berwujud bangunan, kelompok atau deretan bangunan, rangkaian bangunan yang berbentuk ruang umum atau dinding jalan. Apabila dikehendaki lebih jauh, hal ini dapat dirinci sampai kepada unsur bangunan-bangunan, baik unsur fungsional struktur atau estetis ornamental.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB