Hal ini erat kaitannya dengan semakin minimnya ruang publik, sehingga mereka juga tidak bisa menyalurkan hobinya, misalnya melalui olahraga, kesenian dan lainnya. Mereka menemui jalan buntu dan ruang pengap. Akhirnya mereka menjadi ‘kelompok sela’ (punya banyak waktu luang tapi tidak mampu mengisinya). Lalu mereka mencari kompensasi di tengah publik. Mereka jadi sangat sensitif atas hal-hal yang remeh sekalipun.
Sudah menjadi kecenderungan masyarakat kita penyelesaian secara simbolik selalu diambil setiap terjadi krisis. Begitu juga dalam soal klithih. Itu bagus. Namun harus dibarengi oleh jawaban-jawaban yang lebih substansial. Misalnya menciptakan kehidupan keluarga yang selaras, menciptakan kehidupan masyarakat yang beradab dan adil. Tak kalah pentingnya adalah membangun infrastruktur yang memungkinkan para pelajar bisa mengekspresikan diri. Membangun ruang publik dengan program kegiatan yang beragam, menarik dan inspiratif, merupakan jawaban penting. Langkah lainnya adalah tindakan preventif, sebelum tindakan represif secara yuridis.
Para pelaku klithih bukan orang lain. Mereka adalah saudara-saudara kita dan anak-anak kita. Tak perlu dibenci, dikucilkan dan dimusuhi. Mereka perlu disayangi dengan tindakan-tindakan kultural yang menyadarkan mereka pada nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas sosial, empati, toleransi dan harmoni.
(Indra Trangono. Praktisi budaya. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 30 Maret 2017)