PERSELISIHAN antara PT Freeport dengan Pemerintah Indonesia mengemuka beberapa waktu lalu. Masalahnya, keengganan PT Freeport melakukan perubahan kontrak karya menjadi izin penambangan khusus sesuai peraturan baru di Indonesia dan untuk melakukan divestasi (pelepasan saham). PT Freeport mengancam akan membawa persoalan tersebut ke forum arbitrase internasional. Pemerintah Indonesia tidak gentar dan bahkan akan bersikap tegas jika PT Freeport tidak mau bernegosiasi.
Tuntutan Pemerintah Indonesia tersebut adalah wajar dan sesuai hukum. Hingga sekarang PT Freeport, anak perusahaan Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc, yang hadir di Indonesia sejak tahun 1967, masih menguasai mayoritas saham (81,28 %), sisanya dimiliki perusahaan Indonesia. Keuntungan terbesar dari perusahaan tersebut dinikmati pihak asing. Sehingga kurang memberi kontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi Indonesia.
Berhak Menuntut
Pemerintah Indonesia berhak menuntut PT Freeport untuk mematuhi setiap peraturan dan kebijakan hukum Indonesia. Berdasar Hukum Internasional, khususnya Pasal 2 Piagam Hak dan Kewajiban Ekonomi Negara tahun 1974 ditentukan bahwa setiap negara mempunyai hak untuk : a). mengatur dan melaksanakan kekuasaan atas penanaman modal asing (PMA) di wilayahnya, b). mengatur dan mengawasi aktivitas perusahaan multinasional di wilayahnya dan c). menasionalisasi, mengekspropriasi atau mengalihkan kepemilikan atas harta milik orang asing di negara tersebut dengan disertai ganti rugi.
Namun demikian, kebijakan dan peraturan baru yang dibuat Indonesia berkaitan dengan PMA memang dapat menimbulkan sengketa. Sengketa seperti tersebut seharusnya diselesaikan melalui cara dan sarana penyelesaian sengketa yang ada di Indonesia terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan prinsip exhaustion of local remedies yang menentukan bahwa sebelum suatu sengketa perdata (klaim) antara swasta asing melawan pemerintah suatu negara dibawa ke forum penyelesaian sengketa internasional, maka harus ditempuh lebih dahulu upaya-upaya penyelesaian setempat yang tersedia di negara tersebut.
Berlakunya prinsip exhaustion of local remedies ditegaskan Mahkamah Internasional dalam sengketa the Interhandel Case (1959). Dalam kasus tersebut Mahkamah Internasional mengungkapkan dua hal penting. Pertama, local remedies rule sudah diterima menjadi hukum kebiasaan internasional yang mapan. Kedua, local remedies rule ini sangat penting karena memberi kesempatan kepada negara pelanggar kewajiban internasional untuk memperbaiki pelanggarannya sesuai dengan caranya sendiri menurut hukum nasionalnya.
Namun sayangnya bahwa di Indonesia berlakunya prinsip exhaustion of local remedies tersebut telah dikesampingkan dengan adanya Pasal 32 ayat (4) Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Aturan ini menentukan bahwa dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang disepakati para pihak. Dengan demikian jika terjadi sengketa antara penanam modal asing, seperti PT Freeport, dengan Pemerintah Indonesia, bisa saja pihak asing tersebut langsung membawa permasalahannya ke forum penyelesaian sengketa internasional.
Menata Peraturan Belajar dari masalah PT Freeport tersebut di atas, maka pemerintah Indonesia perlu menata kembali peraturan dan kebijakan tentang penanaman modal asing di Indonesia. Peraturan penanaman modal yang berlaku sekarang ini, yakni Undang Undang No. 25 Tahun 2007, terkesan liberal, menguntungkan investor asing dan kurang melindungi kepentingan ekonomi nasional. Sehingga perlu dilakukan revisi, termasuk revisi Pasal 32 ayat (4).