opini

Memotong Problem ‘Klitih’

Senin, 13 Maret 2017 | 10:39 WIB

RUMAH, tidak sekadar sebagai benda mati, produk atau komoditi yang mandek, tetapi bisa sebagai ‘jasad hidup’ dalam proses yang sangat dinamis. Dari rumah aktualisasi kehidupan manusia bermula dan ke rumah pula diakhiri. Ajakan: Mari ‘pulang ke rumah’ atau ‘mampir ke rumah, kiranya mengandung daya pikat kedamaian, keramahan, dan kebebasan hingar-bingarnya kehidupan ini.

Namun, bayangan ideal tentang rumah seperti itu tidak berlaku bagi pelaku klithih yang memilih lari dari rumah. Imej DIY yang aman, nyaman dan damai, tercoreng dengan aksi klithih ini.

Ada fakta menarik ditemukan pencari fakta. Dari sisi pelaku klithih terungkap. Pertama, mereka tidak mengenal agama dan tidak pernah berinteraksi dengan kitab suci, apapun agamanya meski belajar di sekolah berbasis agama. Kedua, pelaku mengalami disorientasi atau tidak memiliki tujuan hidup yang jelas. Ketiga terjadi dislokasi atau salah memilih tempat untuk menempatkan diri, yaitu di jalanan.

Sedangkan fakta yang terungkap dari sisi orangtua, secara ekonomi para orangtua pelaku cukup mapan, mereka mengaku super sibuk dan membuat anak broken-home. Yang sangat mengejutkan ada juga orangtua yang ‘merestui’ anak melakukan aksi klithih.

Dari fakta tersebut, salah satu tantangan yang layak diwaspadai serius para orangtua adalah kemakmuran keluarga. Banyak kasus terjadi, keluarga yang ekonominya cukup berada, anak-anaknya menjadi berantakan. Seringkali, kekayaan telah menyebabkan rumah hanya menjadi tempat bermalam bagi penghuninya. Tidak ada komunikasi yang hangat lagi antara ayah, ibu dan anakanak. Mereka terlena, bahwa kekayaan telah mampu memakan anak kandungnya sendiri.

Psikolog kondang Paul Wachel menamakan dengan istilah ‘kemiskinan’ orangtua kaya! Penyakit sindroma mentalitas pertumbuhan telah menjangkiti orangtua. Salah satu cirinya adalah hasrat untuk mencari kekayaan terus-menerus dan tidak puas-puasnya, meskipun kekayaan itu sudah melimpah ruah. Orangtua telah betul-betul menjadi materialistik, individualistik dan hedonistik. Dan, yang lebih mengerikan bahwa mereka melihat kekayaan itu bukan lagi menjadi alat atau sarana, tetapi telah menjadi tujuan.

Dampaknya adalah anak-anak lari dari rumah karena merasa sumpek dan kesepian di tengah ‘ramainya’ orangtua memburu uang. Orangtua semakin ‘kikir’ untuk menyalurkan kasih sayang, perhatian, dorongan, dan hadir di sisi anaknya.

Dalam banyak bidang kehidupan anakanak, resep-resep klasik itu tetap berlaku dan tidak banyak mengalami perubahan. Anasir-anasir pokok seperti sentuhan kasih sayang dan kehadiran orangtua dalam makna yang sejati, tetap tak tergantikan oleh apa pun. Kasih sayang dan perhatian kepada anak-anak termasuk naluri yang paling esensial dan paling dasar pada orangtua.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB