SETAHUN lebih, musim kemarau belum juga menampakkan batang hidungnya. Langit Yogya hampir saban hari digelayuti mega mendung. Hujan pun turun dengan mesra layaknya nyanyian tanpa suara. Demikian pula di belantara Jakarta. Rinai hujan mengguyur deras menimbulkan banjir beberapa hari terakhir. Celakanya, banjir diseret ke ranah politik.
Jakarta, daerah primadona kaum perantau itu, sejak era kolonial hingga kiwari sukar diceraikan dengan penyakit banjir. Restu Gunawan melalui desertasi Gagalnya Sistem Kanal (2010) memprediksi masalah banjir yang mengancam Jakarta tidak dapat ditangani secara tuntas, maka ada kemungkinan kota ini akan ditinggalkan penduduknya.
Dalam menata kota, air mestinya dipandang sebagai unsur pokok supaya tidak mengamuk. Belajar dari manusia tempo doeloe, yang begitu sakral memandang air sehingga melahirkan istilah banyu panguripan. Sementara dalam dunia Barat, air dijuluki fons vitae (sumber hidup), dan warga Yunani menyebut nectar (minuman para dewa). Pentingnya banyu panguripan dalam buwana Jawa lewat aneka istilah yang ada. Contohnya toya pawira, toya marta, tirta, tirta kamandalu, tirta nirmala, banyu bening pawitra sari, dan banyu mahapawitra.
Wayang
Agar tanak di batok kepala, cerita kesakralan air dikabarkan via pertunjukan wayang. Wejangan tentang sucinya air tak lelah disampaikan dalang kepada publik. Bahkan, mendiang dalang wayang suket, Slamet Gundono pernah membuat wayang hujan. Wayang jenis ini diciptakan dari kegelisahan dia perihal bencana banjir yang rajin melanda di kawasan Solo, kota kembar Yogya. Dalang tersebut mengingatkan akan bahaya banjir dan bagaimana cara mengatasinya, dengan media wayang.
Sang dalang bilang sampai meniran bahwa air merupakan sumber kehidupan manusia. Hal itu kerab disebutkan dalam janturan jejer: â€...lenggak-lenggok lampahing toya ingkang mijil saking sendang-sendang wening, tirtane pinara-para playune tinampi wadhuk binendung-nendung kinarya angileni sawah myang pategalaning narakisma.†Terjemahan bebasnya: â€...berkelok-kelok air mengalir keluar dari mata air yang jernih, airnya dibagi-bagi dimasukkan ke waduk-waduk untuk digunakan mengairi sawah dan ladang para petani.â€
Filolog termasyur yang dimiliki bangsa Indonesia, Poerbatjaraka (1940), ikut memberi perhatian terhadap pengetahuan lokal mengenai air sebagai â€air penghidupan†yang termahtub dalam cerita ‘samudra manthana’ dan, lumayan akrab di kuping orang-orang tua di Jawa. Dikisahkan, suatu ketika para dewa bersama para daitya berupaya mencari tirta amrta (air penghidupan) dengan cara mengaduk lautan susu (ksirarnawa) yang dalam. Peneliti budaya Jawa, Woro Aryandini (2002) mengutip buku ‘Nawaruci’, menginformasikan perjuangan Bima mencari air penghidupan alias tirtha kamandalu, banu mahapawitra, atau sang hyang amrtnjiwani. Dalam ‘Manikmaya’ disebut toyadi marta hyan kamandalu, yaitu air yang diminum para dewa sehingga dijauhi kematian.
Kekuatan Magis