SECARA kodrati, setiap orang ingin meraih kemuliaan. Kemuliaan hakikatnya merupakan budi pekerti luhur yang terejawantahkan sebagai perilaku dalam kehidupan bersama. Kemuliaan bukan diukur dari pangkat, jabatan dan panggilan. Kemuliaan formal, menjadi ada karena diadaadakan demi gensi, bukanlah kemuliaan sejati.
Dapatkah pemilihan kepala daerah (pilkada) dijadikan sarana memperoleh kemuliaan sejati? Mestinya begitu. Kemuliaan tidak identik dengan kemenangan. Kekalahan bukan pula identik dengan kehinaan. Kalah bisa menjadi mulia, bila padanya melekat budi pekerti luhur. Sebaliknya menang menjadi hina kalau ternyata padanya melekat kecurangan.
Mamad, teman ronda yang takmir masjid, memberi apresiasi kepada Agus-Silvie, walaupun kalah dalam Pilkada di DKI Jakarta. â€Nasib bangsa ini ke depan banyak ditentukan mereka berduaâ€, katanya. â€Ah jangan sok tahu Mad. Bukan politisi itu jangan bicara politik. Supaya gak jadi tertawaanâ€, sergah Gimin si pedagang bakso. â€Politik itu perlu uang, siapa gede uangnya, dialah pemenangnya. Agus-Silvie kalah ya wajar, karena uangnya pas-pasan. Ahok, uangnya segudang, dibantu teman-teman konglomerat. Jadi wajar dia menangâ€, Gimin memberi penjelasan dengan gaya sok tahu.
â€Walau kalah, Agus-Silvie itu mulia. Keluarganya dihujat, difitnah, dihoax, tetapi enggak mbalas, cuma berkeluh kesah. Minta ketemu Presiden untuk blak-blakan saja tak kesampaian. Nah, nanti pemenang Pilkada DKI ditentukan oleh Agus-Silvie dan keluarganya. Ke mana suaranya dialihkan, bola emas ditangannya. Itulah wolakwalike zaman. Makanya jadi orang gak boleh angkuhâ€, si Doel berceloteh memberi nasihat.
Ditemani wedang jahe plus rebusan pisang dan gorengan, suasana dingin di perondaan menjadi hangat. Siapa sangka bahwa nasionalisme ternyata melekat pada orang-orang pinggiran. Mamad, Gimin, dan si Doel hanyalah rakyat jelata, hidup dalam kesahajaan di kampung Yogyakarta, tetapi peduli dan mampu menganalisis Pilkada DKI dan nasib bangsa. Huebat, luar biasa.
Cinta Negara
Ada ungkapan beraroma religius hubbul wathan minal iman, artinya cinta negara merupakan bagian dari keimanan. Ungkapan ini maknanya sangat dalam. Relevan untuk membahas pilkada. Mestinya, pilkada itu bagian dari bukti kecintaan kepada negara. Kapanpun dan dimanapun, cinta itu wajib merangkum tiga komponen sekaligus, yakni: (1) bersedia memberi kasih-sayang tanpa pamrih; (2) bersedia memberi pelayanan terbaik; dan (3) bersedia memberi pengorbanan jiwa dan raga.
Dalam konteks pilkada, cinta kepada negara wajib dibuktikan dengan perilaku bermarwah kasih-sayang. Kasih-sayang diberikan tulus atas dasar keimanan, berharap semata-mata pada ridha Allah SWT, tak perlu money politics atau janji-janji kosong, tetapi jujur, santun, profesional kepada semua pihak. Pemerintah, penyelenggara, dan pengawal keamanan, mesti memberikan pelayanan cepat, ramah dan adil. Bagi pemilih, gunakan hak pilih sebagai bukti kepedulian dan pengorbanan demi terpilihnya kepala daerah terbaik.