SERTIFIKASI khatib akhir-akhir ini mulai ramai diperbincangkan publik. Wacana ini dilatarbelakangi oleh adanya indikasi bahwa khotbah keagamaan cenderung mengarah pada konten yang menyinggung SARA. Adapun langkah sertifikasi khatib (ulama) ini bukan yang pertama kali jika nantinya akan benar diberlakukan. Negara-negara tetangga seperti: Malaysia dan Singapura sudah memberlakukannya terlebih dahulu, bahkan juga Turki. Tujuan sertifikasi tidak lain untuk melakukan standardisasi atas kompetensi khatib dan sebagai tindakan preventif negara untuk melindungi publik dari ajaran yang sesat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan kasus di Indonesia, apakah akan sama?
Jika melihat kasus wacana sertifikasi khatib kita saat ini, pemerintah semestinya harus lebih berhati-hati, terlebih lagi wacana tersebut hadir secara tiba-tiba dalam situasi politik dan konflik horisontal yang semakin memanas. Alih-alih ingin menunjukkan itikad baik, yang terjadi bisa jadi justru sebaliknya, publik akan curiga ada apa dibalik semua ini. Belum lagi seturut dengan wacana sertifikasi khatib, di Jawa Timur, Kepolisian Daerah secara sistematis melakukan pendataan atas nama-nama ulama yang berpengaruh. Jelas kebijakan ini hanya akan dibaca janggal oleh siapapun.
Aneh
Mencuatnya wacana sertifikasi kepada jenis profesi tertentu di luar profesi akademis sebenarnya tidak hanya terjadi sekali ini. Sebelumnya, sempat mencuat wacana sertifikasi atas para seniman. Niatan ini ternyata mendapat sorotan dan kritik dari para seniman. Pertanyaannya kemudian apa perlunya sertifikasi tersebut? Selama ini para seniman berkarya oleh adanya jaminan dari negara melalui undang-undang untuk berekspresi dalam ruang ekspresi apapun.
Apa jadinya jika sertifikasi tersebut dilakukan, tentunya akan sangat aneh dan tidak relevan? Belum lagi persoalan kewenangan yang berhak untuk menguji dan biaya operasional jika sertifikasi tersebut dilakukan. Jelas akan menyedot anggaran negara yang tidak sedikit. Padahal kepentingan atas sertifikasi tersebut di nilai tidak substantif.
Belajar dari persoalan sertifikasi para seniman, pemerintah diharapkan tidak gegabah apalagi tergesa-gesa. Jika sertifikasi tersebut beritikad baik untuk memberikan standardisasi atas para ulama maka pemerintah harus melakukan dialog dengan para ulama, pimpinan organisasi massa Islam, Dewan Masjid Indonesia, dan cendekiawan muslim dan sejenisnya. Sehingga dapat disepakati bersama substansi atas sertifikasi tersebut. Kesepakatan tersebut menjadi penting agar publik tidak salah dalam mempersepsikan dana bisa mengeliminir kesalahpahaman. Apalagi dalam situasi seperti saat ini dimana isu keagamaan menjadi sangat sensitif.
Secara sosiologis, dalam diskurs kebangsaan, kita harus memahami bahwa kehidupan manusia beragama harus memberi ruh bagi keberlangsungan penyelenggaraan negara. Oleh karena itulah organisasi massa keagamaan, tidak cuma Islam, harus mengedepankan sikap toleransi dan saling menghormati sebagai bagian dari pemahaman bangsa ini atas ke-bhinneka-an.
Penyeragaman Kompetensi