Cukup lama tim sepakbola nasional kita nihil prestasi, dalam era sepakbola modern selepas juara AFF U-19 pada 2013. Agak sulit membanggakan timnas kita di sela-sela rapuhnya PSSI selepas juara AFF U-19 tersebut. Berbagai persoalan melanda persepakbolaan kita hingga berujung pada pembekuan PSSI oleh FIFA.
Sebagaimana sepakbola, menciptakan prestasi dalam hidup berbangsa merupakan hal paling penting. Banyaknya prestasi di berbagai bidang pembangunan menjadi tolok ukur ‘kesehatan’ rumah bangsa kita. Demi menciptakan prestasi, John F Kennedy meminta untuk mempertanyakan apa yang sudah dibuat bagi negara. Demi menciptakan prestasi, Bung Karno dengan berani meminta supaya diberikan 10 pemuda untuk mengguncang dunia.
Sindhunata (2002) kembali menulis, â€kespontanan, keapaadaan, kiranya harus tetap menjadi landasan bola. Bola kiranya tetap mempunyai jiwa kejujuran kanak-kanak. Tanpa kejujuran kanak-kanak, bola hanya akan menjadi kompleks taktik dan strategi, rumit dan membosankanâ€. Landasan sepakbola yang jujur dan apa adanya membuat penikmatnya mampu untuk saling berbagi kegembiraan. Sebagaimana sepakbola, tolok ukur kehidupan berbangsa ditentukan oleh kemampuan berbagi kegembiraan. Kehidupan berbangsa harus dijalani dengan kegembiraan. Kegembiraan menciptakan passion yang memerdekakan.
Dari bumi Yogyakarta yang berjiwa ayem tentrem, 3 pesan Presiden Joko Widodo melalui sepakbola sejatinya mengungkapkan bahwa nasionalisme merupakan sebuah pembelajaran yang terus-menerus. Karena persatuan, prestasi, dan kegembiraan akan selalu berhadapan dengan disintegrasi bangsa. Kita berharap agar dari kota yang lain pun pesan tersebut dapat didengungkan.
(Dr Antonius Maria Laot Kian. Dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 6 Februari 2017)