opini

Angka dalam Pilkada

Jumat, 3 Februari 2017 | 07:54 WIB

MENCERMATI kampanye Pilkada Yogyakarta lewat agenda sapa warga. Mulai blusukan dari kampung ke kampung dan bantaran sungai, bertemu calon pemilih di pasar tradisional. Terlihat peserta pilkada senantiasa mengacungkan jari jemarinya. Acungan jari jemari tersebut dimaksudkan merepresentasikan dirinya sebagai calon walikota berdasarkan nomer undian yang dikeluarkan KPUD Yogyakarta.

Bagi calon walikota nomer pilihan satu. Ia mengangkat jari telunjuknya. Hal itu dilakukannya untuk mengajak calon pemilih agar mencoblos kartu suara urutan nomer satu. Hal serupa dilakukan calon walikota urutan nomer dua. Ia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah bersamaan. Artinya, secara komunikasi visual, ia mengarahkan calon pemilih untuk memilih nomer urut dua.

Peserta Pilkada DKI Jakarta, saat bertemu warga juga acungkan jari jemarinya. Tujuannya memantik ingatan calon pemilih atas nomer undian yang didapatkannya. Hal sama terjadi ketika menyaksikan debat kandidat calon gubernur DKI Jakarta. Moderator seringkali menyebut angka pasangan calon nomer 1, 2 atau 3, ketimbang menyapa nama mereka.

Acungan jari jemari tersebut menjadi fenomena menarik dalam komunikasi visual pilkada. Mereka memosisikan jari jemari sebagai ikon visual atas dirinya. Ikon itu merujuk pada nomer pilihan yang terpampang di kertas suara. Mengapa dianggap fenomena menarik? Secara komunikasi visual angka dalam pilkada menjadi penanda visual yang sederhana, solid dan jitu. Nomer urut peserta pilkada dinilai lebih komunikatif. Mudah diingat sebagai simbol penghubung imajiner antara peserta pilkada dengan logo dan nama parpol pengusung calon kepala daerah.

Bagi calon pemilih, angka dalam pilkada sanggup menyederhanakan keseluruhan persepsi visual atas logo dan nama parpol pengusung peserta pilkada. Dengan demikian angka dalam pilkada dapat diposisikan sebagai panglima perang untuk mempersepsikan peserta pilkada 2017 secara komunikasi visual.

Angka dalam pilkada disepakati sebagai salah satu simbol komunikasi visual politik. Maka keberadaannya harus dihidupkan oleh berbagai unsur terkait agar simbol tersebut tetap hidup.

Artinya, eksistensi sang pemilik angka dalam pilkada harus ditopang jalinan jejaring sosial yang tangguh di tingkat akar rumput. Lewat jejaring sosial yang terpilin rapi dan kuat, tentu akan menjelma menjadi selembar tenunan kain nan cantik.

Analogi semacam itu mengkonotasikan mereka yang puluhan tahun sebelumnya telah mengabdikan diri dan berkarya nyata di tengah masyarakat. Rumusnya, jika seseorang ingin menjadi kepala daerah. Sebelumnya ia harus mau kerja keras dan cerdas agar dikenal masyarakat. Hasil kerja keras dan pemikirannya yang cerdas menjadi modal sosial. Kelak, hasil pembiakan modal sosial tersebut mampu mengangkat nama dan reputasinya. Tentu saja kerja keras itu bukan dalam hitungan bulan atau setahun sebelum pilkada. Mereka sudah memulai bekerja keras sejak sekarang untuk Pilkada 10-15 tahun mendatang.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB