MEDIA sosial ramai mengabarkan ‘penggebugan’ oleh pemilik usaha kepada pembelinya. Kata gebug di sini tentu saja bermakna kiasan. Dalam kisah itu diberitakan satu rombongan yang melancong ke Pantai Jepara ‘digebug’ usai bersantap di warung makan membayar senilai lebih Rp 2,3 juta untuk layanan biasa saja. Dalam struk pembayaran tampak angka-angka ditetapkan seolah sambil lalu saja. Asal dipatok tinggi.
Pelajaran untuk Yogyakarta
Yogyakarta juga tidak sepi dari kisah ‘penggebugan’ ini. Dulu di Malioboro, warung kaki lima bisa membuat pembeli membayar 7-10 kali lipat harga biasa karena sebelumnya tidak melihat tarif. Untunglah praktik itu terhenti karena walikota saat itu, Heri Zudianto (HZ), mengharuskan pencantuman harga dalam daftar menu yang mudah dilihat pengunjung.
Namun kini pelancong bisa juga kena gebug dalam hal lain : tarif parkir liar. Kendaraankendaraan itu bisa kena gebug tarif sampai berkali lipat jika bertemu orang-orang yang merusak citra Yogya. Padahal wisatawan di DIY membludak, dengan adanya objek daya tarik wisata (ODTW) baru, yang belum semua tertata tempat parkirnya (KR, 3/1).
Juga saat ke luar dari Bandara Adisucipto, tetamu akan terjamin kalau memilih taksi di taxi center yang mencantumkan harga baku sesuai daftar yang tersedia. Menjadi berisiko kalau orang yang tidak kenal wilayah memilih taksi yang tidak menjalankan argonya, meski alat itu tersedia. Saat berkeliling Yogya tamu tadi kemungkinan bertransaksi dengan penyedia jasa apa saja.
Sayangnya, pengelola jasa, toko dan rumah makan, ternyata belum semuanya menjunjung pepatah ‘pembeli itu raja’, sehingga belum cukup memuliakan tamunya. Mereka mungkin khilaf memperhitungkan bahwa pengalaman bertransaksi yang tidak sedap akan berdampak merugikan bisnisnya kelak. Mereka alpa melihat betapa warung yang ramai itu bukan karena kebetulan atau sekadar hoki, melainkan karena pembeli yang dulu kembali lagi.
Mengajak Pelanggan Kembali
Sudut pandang tamu, pelancong atau pembeli itu harus dikenali agar tidak buta terhadap dampak jangka panjang bagi bisnis di Yogya ini. Sampai di sini ada tiga upaya yang perlu diambil. Pertama, memulihkan kesadaran diri pelaku tentang etika bisnis. Mereka harus disadarkan bahwa perbuatan tidak menyenangkan pembeli itu -- apalagi merugikan -- sesungguhnya bukan hanya mempercepat pembusukan bisnisnya, melainkan juga mempertaruhkan masa depannya. Dari sisi religiusitas, rezeki mereka menjadi kurang berkah. Dari sisi keberlangsungan usaha, mereka merusak kepercayaan pelanggan.