opini

Bisnis Jangan Membenci Pelanggan

Senin, 9 Januari 2017 | 10:43 WIB

MEDIA sosial ramai mengabarkan ‘penggebugan’ oleh pemilik usaha kepada pembelinya. Kata gebug di sini tentu saja bermakna kiasan. Dalam kisah itu diberitakan satu rombongan yang melancong ke Pantai Jepara ‘digebug’ usai bersantap di warung makan membayar senilai lebih Rp 2,3 juta untuk layanan biasa saja. Dalam struk pembayaran tampak angka-angka ditetapkan seolah sambil lalu saja. Asal dipatok tinggi.

Pelajaran untuk Yogyakarta

Yogyakarta juga tidak sepi dari kisah ‘penggebugan’ ini. Dulu di Malioboro, warung kaki lima bisa membuat pembeli membayar 7-10 kali lipat harga biasa karena sebelumnya tidak melihat tarif. Untunglah praktik itu terhenti karena walikota saat itu, Heri Zudianto (HZ), mengharuskan pencantuman harga dalam daftar menu yang mudah dilihat pengunjung.

Namun kini pelancong bisa juga kena gebug dalam hal lain : tarif parkir liar. Kendaraankendaraan itu bisa kena gebug tarif sampai berkali lipat jika bertemu orang-orang yang merusak citra Yogya. Padahal wisatawan di DIY membludak, dengan adanya objek daya tarik wisata (ODTW) baru, yang belum semua tertata tempat parkirnya (KR, 3/1).

Juga saat ke luar dari Bandara Adisucipto, tetamu akan terjamin kalau memilih taksi di taxi center yang mencantumkan harga baku sesuai daftar yang tersedia. Menjadi berisiko kalau orang yang tidak kenal wilayah memilih taksi yang tidak menjalankan argonya, meski alat itu tersedia. Saat berkeliling Yogya tamu tadi kemungkinan bertransaksi dengan penyedia jasa apa saja.

Sayangnya, pengelola jasa, toko dan rumah makan, ternyata belum semuanya menjunjung pepatah ‘pembeli itu raja’, sehingga belum cukup memuliakan tamunya. Mereka mungkin khilaf memperhitungkan bahwa pengalaman bertransaksi yang tidak sedap akan berdampak merugikan bisnisnya kelak. Mereka alpa melihat betapa warung yang ramai itu bukan karena kebetulan atau sekadar hoki, melainkan karena pembeli yang dulu kembali lagi.

Mengajak Pelanggan Kembali

Sudut pandang tamu, pelancong atau pembeli itu harus dikenali agar tidak buta terhadap dampak jangka panjang bagi bisnis di Yogya ini. Sampai di sini ada tiga upaya yang perlu diambil. Pertama, memulihkan kesadaran diri pelaku tentang etika bisnis. Mereka harus disadarkan bahwa perbuatan tidak menyenangkan pembeli itu -- apalagi merugikan -- sesungguhnya bukan hanya mempercepat pembusukan bisnisnya, melainkan juga mempertaruhkan masa depannya. Dari sisi religiusitas, rezeki mereka menjadi kurang berkah. Dari sisi keberlangsungan usaha, mereka merusak kepercayaan pelanggan.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB