SALAH satu terobosan yang dinanti publik dari pemerintah adalah soal perlindungan minoritas, khususnya minoritas keagamaan. Urgensi agenda perlindungan minoritas dilatari dua tuntutan: filosofis-konstitusional dan faktual.
Dalam tataran filosofis, Pancasila dan semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika telah secara tegas membayangkan politik negara yang terbuka untuk seluruh anasir pembentuk negara-bangsa, dalam satuan yang besar maupun kecil, banyak ataupun sedikit. Pasal-pasal dalam konstitusi negara, UUD tahun 1945 juga telah meneguhkan kerangka dasar ‘negara semua untuk semua’. Seperti yang diidealkan para pendiri negara-bangsa dan digariskan secara intrinsik dalam dasar dan sesanti negara, Bhinneka Tunggal Ika. Jadi, regulasi politiko-legal di level governance harus dibangun di atas fondasi filosofis-konstitusional tersebut. Itulah yang selama ini diabaikan.
Sedangkan di aras faktual, kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia belakangan, khususnya dalam sembilan tahun terakhir, berada dalam potret yang sebelumnya tak terbayangkan terjadi di negara Pancasila. Persekusi, diskriminasi, intoleransi, alienasi, dan eksklusi atas minoritas keagamaan terjadi secara massif. Dengan sejumlah korban yang bahkan masih bisa kita saksikan di ‘kantong-kantong pengungsian’ hingga kini, antara lain di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Kondisi minus tersebut tidak saja merupakan pembangkangan atas konstitusi dan filosofi dasar Negara. Namun juga mengancam cita-cita para pendiri negara-bangsa tentang tatanan umat beragama di Indonesia yang hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan agama/keyakinan, sebagaimana ditegaskan Bung Karno dalam pidato perumusan Pancasila di hadapan sidang BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945.
Berbagai bentuk pelanggaran atas hak-hak dasar telah dilakukan oleh aktor-aktor negara dan non negara terhadap kelompok-kelompok minoritas rentan. Setara Institute mencatat, tahun 2007 - 2015, secara kumulatif terjadi 1.867 peristiwa dan 2.498 tindakan pelanggaran dalam 9 (sembilan) tahun terakhir. Terjadi 17 lebih peristiwa setiap bulan, atau hampir 6 (enam) tindakan pelanggaran per minggu! Sebagian besar pelanggaran tersebut mengalami impunitas dan tidak diadili secara adil.
Dalam rentang waktu yang sama, Setara Institute mencatat bahwa terdapat 346 tempat ibadah yang mengalami gangguan dengan derajat yang beragam, dari pembakaran, pengrusakan, gagal didirikan dengan alasan perizinan, dan lain-lain. Dari 346 tempat ibadah tersebut terdapat 22 tempat ibadah aliran kepercayaan, 180 gereja, 3 klenteng, 121 masjid, 1 sinagog, 5 pura, dan 14 vihara.
Dalam konteks itu, pemerintahan Jokowi-JK harus menyusun dan menyediakan desain politiko-legal yang lebih progresif untuk memastikan tunainya lima lapis kewajiban negara dalam mengatasi aneka persoalan aktual kebebasan beragama/berkeyakinan. Pertama, melindungi kemerdekaan dan kebebasan seluruh warga negara untuk memeluk agama/keyakinan dan beribadat menurut agama dan keyakinannya, sebagaimana nyata-nyata diperintahkan konstitusi negara. Kedua memberikan jaminan keamanan dasar bagi kelompok-kelompok minoritas agama/keyakinan.
Ketiga, mencegah terjadinya pelanggaran dan kekerasan oleh mayoritas dan/atau kelompok intoleran kepada minoritas. Keempat, memastikan penegakan hukum untuk meminta pertanggungjawaban legal kepada para pelanggar kebebasan beragama/berkeyakinan atas pelanggaran yang telah terjadi. Kelima, memulihkan hak-hak korban pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.