opini

Masih Ada UN

Selasa, 20 Desember 2016 | 23:23 WIB

UJIAN Nasional (UN) tak habis-habisnya dibicarakan dan didiskusikan, baik oleh stakeholder pendidikan yang awam maupun yang ahli dalam bidang penilaian hasil pendidikan. Terlebih setelah Mendikbud mengumumkan akan ada moratorium terhadap UN.

Kembalilah merebak pembicaraan UN di kalangan masyarakat maupun di tengah-tengah para pengambil dan/atau pelaksana kebijakan bidang pendidikan, baik yang di pusat maupun daerah. Terhadap usulan moratorium itu Wapres mengatakan: ìditolak dan meminta agar usulan moratorium dikaji lagiî.

Dalam menolak moratorium UN, Wapres tidak memberikan penjelasan secara rinci. Namun, dari suara pro dan kontra dapat kita ringkaskan berikut ini. Bagi yang menolak, mereka punya daftar mudharat UN antara lain, pertama, mereka beranggapan, tidak fair kalau UN dijadikan satu-satunya alat untuk menentukan kelulusan siswa.

Klaim ini sebenarnya tidak sahih karena kelulusan siswa selama UN dilaksanakan masih ditentukan oleh unsur penilaian lain yaitu keterlibatan siswa dalam proses belajar dan nilai lain yang minimal harus baik dalam mata pelajaran kepribadian, kesehatan dan olahraga. Penilaian ini sepenuhnya diserahkan sekolah.

Kedua, para penentang UN menilai, UN tidak fair dilaksanakan secara nasional karena infrastruktur pendidikan belum sama di semua daerah, sehingga UN tak memiliki legitimasi untuk dikerjakan siswa di semua daerah di wilayah NKRI.

Klaim ini mengandung kelemahan karena input pendidikan dan juga outputnya tidak bisa distandarkan secara absolut. Infrastruktur yang sama tidak menjamin menjadikan output bisa sama pula. Buktinya sekolah manapun akan meluluskan para siswanya dengan ‘nasib’ berbeda-beda. Meski ketika menempuh pendidikan di sekolah itu para siswa belajar dengan infrastruktur yang sama, kurikulum yang sama dan guru yang sama pula.

Karena perbedaan infrastruktur itulah, UN memiliki standar kelulusan yang ditetapkan secara minimal. Standar kelulusan UN sejak awal dilaksanakan, mula pertama hanya 3,5 kemudian dari tahun ke tahun dinaikkan sampai saat ini 5,5.

Ketiga, para penentang UN menyebut, UN menimbulkan moral hazard. Karena praktiknya 60% dikerjakan guru, sebab pemda takut nilai UN di daerahnya jelek. Klaim ini sebenarnya juga tidak valid karena jika UN diganti dengan ujian sekolah, siapa yang bisa menjamin, kejujuran penilaian tetap bisa ditegakkan di sekolah? Jika di sekolah proses pembelajaran dan penilaian dilaksanakan oleh satu tangan (guru) kecurangan juga akan terjadi dan bahkan bisa prasmanan.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB