opini

Jaringan Pendidikan Karakter

Jumat, 16 Desember 2016 | 11:31 WIB

DALAM sebuah diskusi mengenai ‘Sosialisasi Penguatan Pendidikan Karakter’ belum lama ini, Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Bidang Pembangunan Karakter mengatakan, Kemendikbud meminta pada kepala sekolah mulai membangun jaringan untuk mendukung program penguatan pendidikan karakter dan sekolah seharian. Jaringan tersebut dapat dimulai dari mengelola partisipasi guru, tenaga kependidikan, orangtua, dan masyarakat.

Arahan mengenai jaringan pendidikan karakter ini harus dibaca dengan beberapa pemaknaan. Pertama, peserta didik harus dilihat sebagai ‘ masyarakat muda’ . Artinya, anak-anak yang kita didik itu harus dilihat sebagai representasi masyarakat. Mereka merupakan hasil mula didikan masyarakat (melalui keluarga sebagai komponen elementer masyarakat) dan bayangan akhir sebuah masyarakat. Sehingga keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan mestinya memiliki ruang yang sama dalam membentuk manusia-manusia dan komunitaskomunitas Indonesia masa depan.

Tri Pusat Pendidikan

Kedua, arahan tersebut merupakan justifikasi bahwa secara faktual kerja sama tri pusat pendidikan itu memang tidak optimal dalam aspek proses. Dari sisi proses, kita lebih sering mendapati para guru di sekolah berjibaku sendiri mendidik peserta didik, dengan pengetahuan awal yang terbatas mengenai subjek belajar di kelas-kelas mereka. Banyak dari para guru yang tidak memiliki pengetahuan tentang social setting siswa. Sehingga pada prosesnya beliau-beliau itu agak mengabaikan keragaman dan keunikan psikologis pembelajar dalam proses pembelajaran. Padahal, pembelajaran yang baik idealnya disesuaikan dengan keunikan, kebutuhan dan potensi siswa.

Ketiga, hasil dari proses pendidikan karakter selama ini melalui pendidikan formal secara umum memang belum tampak. Kita bisa meminjam ‘ pertanggungjawab moral’ Mochtar Lubis (1976) yang secara reflektif dan kontemplatif berusaha mengidentifikasi watak-watak manusia Indonesia.

Dalam kontemplasi salah satu budayawan besar Indonesia tersebut, manusia Indonesia memiliki enam ciri dominan yang sebagian besar negatif, yaitu; a) munafik atau hipokrit, b) enggan dan segan bertanggung jawab, c) bersikap dan berperilaku feodal. Kemudian d) percaya pada takhayul, e) artistis dan, f) watak yang lemah. Di luar enam ciri dominan tersebut, manusia Indonesia menurutnya juga cenderung boros, lebih suka tidak bekerja keras, tukang menggerutu, mudah cemburu dan dengki, manusia sok, dan tukang tiru.

Pertanyaan kritisnya, apakah watak-watak negatif tersebut sudah menghilang dari kedirian manusia dan masyarakat kita? Tampaknya kita tidak akan ragu untuk mengatakan ‘ tidak’ atau ‘ belum’.

Berjalan Sendiri

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB