Wujud nyata kearifan lokal masyarakat sekitar kawasan TNGM yang terkenal adalah Upacara Labuhan. Upacara dilakukan Di dusun Kinahrejo Kecamatan Cangkringan Sleman (Merapi lereng Selatan) serta Kecamatan Selo Boyolali (Merapi lereng Utara) adalah praktik penjagaan kelestarian alam melalui upacara adat. Kedua kawasan tersebut relatif terjaga kelestariannya.
Selain itu, mayoritas desa sekitar TNGM juga memiliki budaya merti desa atau merti bumi. Yakni ungkapan syukur kepada Tuhan YME atas nikmat rezeki berupa alam Merapi yang memberikan kehidupan. Dalam ‘Merti bumi’ di Desa Tunggularum Kecamatan Turi Sleman dilakukan kegiatan penanaman. Juga di Deles, Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten. Mereka punya kegiatan budaya ‘wayang kulit’ yang dilaksanakan di dalam hutan ‘Saluman’ saat malam hari. Paginya dilakukan penanaman di daerah ‘gundul’ akibat terdampak erupsi. Dengan falsafah Hamemayu Hayuning Bawana, Ambrastadur Hangkara berarti sistem pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat lokal juga berorientasi pada nilai ekonomi. Namun tanpa mengabaikan nilai ekologinya yang sangat besar artinya bagi nilai konservasi dan pelestarian.
Masyarakat Merapi memandang bahwa lingkungan alam sekitar sebagai bagian integral dari kebudayaan. Mereka mempunyai kepercayaan penuh bahwa lingkungan alam sekitar adalah penyedia sumber penghidupan bagi mereka, karena itu harus dijaga, dimanfaatkan dan dikelola secara arif. Falsafah masyarakat Merapi ini sangat mendukung program restorasi atau pemulihan ekosistem di kawasan TNGM dan sekitarnya.
(Arif Sulfiantono Shut MSc MSi. Fungsional PEH TNGM dan Peserta Beijing Forum tahun 2015 & 2016. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 3 November 2016)