opini

Pemuda, Jangan Salah Jawab

Jumat, 28 Oktober 2016 | 08:38 WIB

SUMPAH Pemuda 28 Oktober 1928 adalah kejadian yang sangat penting secara politik. Peristiwa ini menegaskan semangat nasionalisme yang ketika itu tengah menguat. Tapi tak hanya itu. Sumpah Pemuda juga merupakan hasil dari dua hal penting: kecemerlangan makna 'pemuda' dan kemampuan para pemuda menjawab pertanyaan zaman dengan tepat dan cerdas.

Pertama, kecemerlangan makna 'pemuda' sangat terkait perilaku umum para pemuda saat itu. Memang, kata 'pemuda' pada dasarnya merujuk pada karakter demografis, yakni mereka yang berusia belia, 20-an atau 30-an tahun. Tapi ketika itu, kata 'pemoeda' merujuk kepada aktivisme, intelektualitas, tanggung jawab dan keberanian untuk mendobrak zaman.

Itu sebabnya, kalau kita mendengar istilah 'Soempah Pemoeda' saat ini, kemungkinan besar yang terbayang di benak kita adalah nasionalisme revolusioner, yang digerakkan oleh orang-orang muda berpendidikan tinggi. Perubahan sosial politik besar-besaran di tahun 1945 juga kerap dikait-kaitkan dengan peran para pemuda. Ben Anderson (1967) menyebut era ini sebagai The Pemuda Revolution.

Kedua, Sumpah Pemuda adalah refleksi dari kemampuan para pemuda menjawab pertanyaan zaman dengan tepat dan cerdas. Abad ke-20 ditandai dengan menguatnya geliat kebangsaan di kawasan yang terjajah oleh bangsa Eropa, termasuk Hindia Belanda. Pada saat yang sama, hubungan antarbangsa terutama di negara-negara Barat mengalami pergeseran besar-besaran. Kepentingan Amerika terhadap energi dari negara-negara lain kian meningkat. Ada kebutuhan bagi Amerika untuk mulai menantang kenyamanan negara-negara Eropa di kawasan-kawasan yang kaya akan sumber energi di Asia, termasuk kawasan yang kini menjadi Indonesia.

Pertanyaannya : di tengah konstelasi politik dunia semacam ini, sanggupkah para pemuda memainkan peran terdepan? Para pemuda saat itu memberikan jawaban terbaiknya dengan meneriakkan Sumpah Pemuda tentang nasionalisme Indonesia. Mereka paham pertanyaan zaman, dan mereka mampu menjawabnya.

Bagaimana situasi sekarang? Ada masalahmasalah besar dalam kedua aspek di atas. Makna pemuda sekarang cenderung sangat berbeda dari makna kata itu di tahun 1920-an. Pemuda kini merujuk pada premanisme, pelanggaran aturan dan pemalakan. Tak ada lagi kesan revolusioner dan pendobrak zaman.

Jika membaca buku Ed Aspinall dan Gerry van Klinken, The State and Illegality in Indonesia (2011), anda akan menemukan kata ‘pemuda’hanya ketika kedua penulis sedang merujuk pada organisasi-organisasi paramiliter yang premanistik. Saat Jumatan atau Salat Ied di Masjid Kampus UGM, muncul parkir yang tarifnya lebih mahal dari tarif normal parkir mobil yang seharusnya Rp 2.000. Karcis parkir fotokopian yang mereka berikan pada para pemilik mobil menggunakan logo UGM, tapi tertulis nama kelompok pemuda kawasan.

Di banyak kawasan wisata, juga terdapat organisasi parkir yang kadang tarifnya ngawur, dan dikelola oleh ‘pemuda’ setempat. Saya pernah melihat sebuah spanduk besar di Yogyakarta, yang mengatakan bahwa pemuda setempat menolak kehadiran minimarket berjejaring. Nadanya agak mengancam.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB