opini

Olahraga dan Kesejahteraan Atlet

Jumat, 9 September 2016 | 17:32 WIB

PRESTASI olahraga nasional di ajang dunia masih jauh dari kata memuaskan. Secara keseluruhan Indonesia belum bisa bersaing di ajang internasional. Bisa jadi penyebabnya adalah kesejahteraan atlet Indonesia yang belum terjamin sepenuhnya. Di sisi lain, dukungan pemerintah melalui kinerjanya sangat mempengaruhi semangat berprestasi atlet untuk bertanding di ajang dunia.

Dua tahun pasca-Indonesia merdeka 1945 pemerintahan Indonesia sudah mulai stabil. Kegiatan berskala nasional pun diadakan sebagai tanda, bahwa Indonesia sudah berdaulat. Salah satunya, Pekan Olahraga Nasional (PON) 1948 tanggal 9-12 September. Pembukaan pada hari pertama ditetapkan sebagai hari olahraga nasional. Harapan ditetapkannya 9 September sebagai Hari Olahraga Nasional (HAORNAS) merupakan wujud keseriusan pemerintah agar budaya olahraga tidak hilang.

Semakin tua usia Indonesia olahraga nasional belum mapan. Semangat olahraga nasional di ajang internasional diawali cabang memanah di Seoul Korea 1988. Selanjutnya, cabang bulutangkis mengikuti tradisi juara pada olimpiade Athena 1992 dengan menggondol medali emas. Sejak berdaulat, atlet Indonesia sudah mempunyai role model yang membawa tradisi juara di ajang internasional. Tetapi terkesan stagnan hanya pada cabang olahraga tertentu.

Keseriusan pemerintah mendukung olahraga nasional di ajang internasional belumlah maksimal. Sebagai contoh pada olimpiade Rio De Janeiro Brasil, dari 28 cabang olahraga yang ada hanya mengirimkan wakilnya di 7 cabang olahraga saja. Meskipun atlet yang dikirim lebih banyak dari tahun sebelumnya, yaitu 28 atlet, sebagian besar cabang lomba belum ada yang mewakilinya. Cabang yang menjadi andalan di olimpiade tahun ke tahun juga masih cabang yang sama, badminton.

Dukungan pemerintah perlu ditingkatkan demi kesejahteraan atlet nasional. Banyak sekali atlet nasional yang jasanya belum dihargai, terlebih setelah para atlet pensiun dan tidak konsen di bidang olahraga lagi.

Masih ditemukan atlet yang berprestasi menjadi pemulung, kuli bangunan, dan bahkan menjadi perampok karena kesejahteraannya tidak terjamin.

Perjuangan para atlet nasional tinggal angin lalu. Secara pragmatis keberhasilan atlet merupakan wujud ‘cinta tanpa syarat’ atau dalam psikologi dikenal sebagai unconditional positive regard dari para atlet untuk Indonesia. Meskipun begitu, adalah tugas pemerintah untuk membalas cinta mereka, sebagai tanda terima kasih.

Kegagalan Rio Haryanto tampil di ajang internasional menjadi momok bagi generasi selanjutnya untuk menekuni olahraga khususnya formula 1. Terlepas dari itu semua, olahraga badminton yang menjadi andalan Indonesia di pentas olahraga dunia tentu tidak mau tradisi juara terlepas begitu saja. Namun, jika pemerintah melepaskan dukungan kesejahteraan para atlet bukan berarti mimpi buruk itu akan terjadi.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB