BERITA tidak menyenangkan kembali hadir pada ritual tahunan ibadah haji. Sebanyak 177 jemaah haji asal Indonesia yang akan berangkat ke Mekah terancam gagal berangkat (KR, 22/08/16). Penyebabnya pun cukup membuat kita geleng-geleng kepala. Mereka ingin pergi haji akan tetapi menggunakan paspor negara Filipina. Mereka masuk ke Filipina dengan menggunakan paspor Indonesia. Setelah itu, mereka membuat passport Filipina. Tujuannya agar dianggap sebagai warga negara Filipina dan bisa mengambil kuota haji negara tersebut. Sebab waktu tunggu haji di Filipina hanya sekitar 3 tahun. Namun masalah ini menyadarkan ada tiga pihak yang terlibat dalam pelaksanaan ibadah haji yang diluar prosedur resmi.
Pertama, calon jemaah haji. Meningkatnya animo masyarakat untuk pergi haji memang patut disyukuri. Sebab, secara sederhana, menunjukkan tingginya kesadaran untuk melaksanakan perintah agama. Akan tetapi perlu digarisbawahi, suatu kebaikan harus juga dilakukan dengan cara-cara yang baik. Pergi haji adalah perbuatan yang baik, maka untuk melaksanakannya, wajib menggunakan sarana yang baik (termasuk mematuhi regulasi yang berlaku).
Dibatasi
Aturan kuota setiap negara yang diberlakukan Pemerintah Arab Saudi ditujukan agar penyelenggaraan ibadah haji dapat berjalan dengan lancar. Sebab jika tidak diatur dan dibatasi, tempat yang akan digunakan untuk ritual haji tidak akan cukup menampung jemaah haji yang membludak. Akibatnya, pelaksanaan ibadah haji bukan hanya tidak optimal, tetapi juga mengancam keselamatan jiwa jemaah haji. Pada tahun 2016, kuota haji jemaah Indonesia maksimal 168.000 orang. Angka ini jauh berkurang dari kuota tahun 2011 yang berjumlah 221.000.
Kedua, agen yang menawarkan haji ‘jalan pintas’. Antrean panjang jemaah haji banyak dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan pribadi. Dan agen perjalanan tersebut pun banyak yang tidak peduli dengan risiko yang akan diterima jemaah haji.
Pada kasus di atas, calon jemaah haji ternyata tetap harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dan setelah kasus ini terbongkar, calon jemaah haji ini pun akan dideportasi ke Indonesia dan tidak bisa melaksanakan ibadah haji tahun ini. Akhirnya keinginan baik untuk mengunjungi Baitullah pun kandas di tengah jalan. Kasus ini ditengarai bukan yang pertama kali.
Ketiga, pihak imigrasi Filipina. Lolosnya calon jemaah haji hingga mendapatkan paspor resmi dari Filipina menunjukkan buruknya imigrasi negara tersebut. Dan patut dicurigai, ada orang dalam kantor imigrasi Filipina yang bermain. Sebab mustahil mendapatkan paspor resmi jika bukan warga negara Filipina.
Jika merujuk pada aturan Department of Foreign Affairs (DFA) Filipina, para pemohon paspor diminta menunjukkan identitas asli dan dokumen penunjang lainnya (termasuk surat kelahiran dari National Statistics Office Filipina). Jadi agak mengherankan jika ada warga negara Indonesia tiba-tiba bisa mendapatkan passport Filipina dalam jumlah yang sangat besar (177 orang).