KRJOGJA.COM - JUMLAH penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) masih tergolong cukuptinggi di DIY. Bahkan di Gunungkidul tercatat 550 kasus pada bulan Juni 2016. Ini sebuah peningkatan dibandingkan tahun 2015 sejumlah 470 kasus (KR, 14/6/2016, hal : 9).
Sejatinya penanganan DBD sudah digalakkan Dinas Kesehatan mulai dari program Menguras, Mengubur, dan Menutup (3M). Juru pemantau jentik (jumantik) dikerahkan di setiap pemukiman warga. Penggunaan bubuk abate bahkan proses fogging telah diupayakan pemerintah untuk membantu mengatasi DBD. Perkembangan penelitian terbaru mengenai Wolbachia pun diharapkan mampu menjawab masalah DBD. Saat ini, tim peneliti masih mengujicobakan di berbagai wilayah di DIY.
Catatan di atas mampu memberikan gambaran bahwa selama ini pemerintah maupun penggiat kesehatan tidak tinggal diam untuk DBD. Akan tetapi mengapa DBD masih menjadi ancaman? Apakah ada proses yang kurang tepat dalam penanganannya? Ataukah ada penyebab lain yang belum ditemukan?
Memetakan Masalah
Kegagalan penanganan DBD tentu bukan karena penyebab tunggal. Perlu ‘kacamata’ komprehensif untuk memetakan masalah mendasar mengapa hampir setiap program penanganan belum menuai keberhasilan sehingga perlu program lanjutan yang uptodate. Pertama, upayapenanggulangan DBD masih terbatas pada nalar proyek semata. Setelah proyek usai, penanganan usai. Kedua, adanya kecenderungan nalar yang terjebak pada nalar instrumentalis. Fogging, jumantik, gerakan 3M semula sebagaI sarana untuk pencegahan menjadi tujuan dari program itu sendiri. Upaya untuk menghilangkan wabah adalah dengan membunuh nyamuk, bukan mencari akar penyebab membiaknya nyamuk.
Pemanasan global disebut-sebut sebagai penyebab ‘sakitnya’ sIstem alam. Curah hujan berlebih, kemarau berkepanjangan, cuaca panas, lembab bahkan kering banyak memunculkan keluhan kesehatan baru bagi masyarakat. Termasuk membiaknya vector nyamuk Aedes Aegypti.
Kekacauan iklim akibat pemanasan global an sich bukan kesalahan alam. Ada peran tangan-tangan manusia di dalamnya. Modernitas membawa manusia berlomba-lomba mengolah alam sebagai objek pembangunan. Manusia menjadi alpa. Sebuah kesadaran ekologis semakin jauh dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Membuang sampah sembarangan, menjamurnya kendaraan di jalan raya, budaya konsumtif, eksploitasi alam, penggunaan produk tidak ramah lingkungan bahkan ketidakpedulian terhadap habitat lingkungan sekitar semakin menjauhkan kita dari alam.
Manusia sebagai bagian dari kosmologi alam semesta tentu tidak dapat berdiri sendiri. Semua bagian saling berelasi satu sama lain membentuk sebuah rantai kehidupan yang saling terhubung dan mempengaruhi. Disharmoni alam mengakibatkan keterputusan rantai kehidupan.
Tentu masyarakat masih ingat dengan garengpung, orong-orong, capung, ikan cupang, katak dan berbagai hewan melata yang hidup di alam bebas. Mereka kini hampir tidak diketahui keberadaannya. Banyaknya lahan kosong yang berubah menjadi perumahan, perusahaan atau pun pusat perbelanjaan menggeser kehidupan satwa pemakan serangga menuju kepunahan. Nyamuk berkembangbiak bahkan berevolusi menjadi lebih ganas, seperti halnya kemunculan virus Zika. Resistensi nyamuk akibat fogging menjadi sebuah masalah baru. Penggunaannya telah mematikan berbagai jenis serangga lain yang bermanfaat secara ekologis. Akhirnya fogging dinilai kurang efektif menangani DBD.