opini

NU dan Genealogi Diskursus Politik Kekuasaan

Rabu, 10 Januari 2024 | 11:41 WIB
Aguk Irawan MN.

KRjogja.com - SEBELUM menggunakan nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), kita mengenalnya dengan nama Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO). Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, HBNO menggelar Muktamar ke-13 yang patut direfleksikan kembali, di Pandeglang Banten tahun 1938.

Kala itu suara warga Nahdliyyin terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang ingin melibatkan HBNO dalam politik praktis, dan kedua, mereka yang menolak gagasan tersebut. Pada akhirnya, Muktamar HBNO tahun itu memutuskan untuk tetap kembali ke Khitthah 1926.

Sejak awal didirikan, HBNO adalah Jam'iyyah Diniyyah (organisasi keagamaan). Maksudnya, HBNO tidak ingin cawe-cawe dalam Volksraad (Lembaga Dewan Rakyat) di era kolonial Belanda. Jadi, Muktamar ke-13 tahun 1938 itu sejatinya ingin melibatkan HBNO dalam Volksraad tersebut.

Baca Juga: Mahfud Ungkap Tak Hadiri Puncak HUT PDI Perjuangan, Ini Penyebabnya

Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari paham betul bahwa melibatkan diri dalam politik praktis Volksraad sama saja dengan melanggengkan kekuasaan kolonial Belanda. Padahal, cita-cita kemerdekaan sudah mendarah daging di tubuh seluruh rakyat Indonesia.

Kesempatan itu datang, ketika era kolonial Belanda berakhir di tangan Jepang. Hanya saja, pemerintahan Jepang menginginkan keterlibatan aktif bangsa Indonesia dalam politik praktis. Mau tidak mau, Masyumi pun didirikan pada tahun 1943. Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari menjadi pimpinan tertinggi Masyumi.

Bergabungnya HBNO ke Masyumi saat itu belum mengubah status dan masih menjadi Jam'iyyah Diniyyah. Perubahan HBNO menjadi sepenuhnya partai politik terjadi ketika HBNO memutuskan diri keluar dari Masyumi, dan mendirikan Partai Nahdlatoel Oelama dan aktif dalam Pemilu 1955.

Dari sinilah hukum siklus sejarah terjadi. Sebelum kemerdekaan, suara warga NU menginginkan NU menjadi partai politik. Setelah kemerdekaan, suara warga NU menginginkan NU kembali ke Jam'iyyah Diniyyah, sesuai niatan awal pendirian NU tahun 1926 atau disebut Khitthah NU.

Baca Juga: Mahfud MD Hadiri Ijab Dhaup Ageng Pakualaman, Ungkap Beruntung Saksikan Perpaduan Tradisi dan Agama

Setidaknya, ada tiga kali Muktamar NU yang mengamanatkan kembali ke Khitthah, yaitu Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979, Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, dan Muktamar ke-28 di Krapyak tahun 1989. Semuanya menyuarakan kembali ke Khitthah 1926, dalam artian tidak ikut dalam pengerahan masa untuk politik praktis (kekuasaan), tapi politik keummatan dan kebangsaan.

Dalam anggaran dasar 1926 NU menetapkan visi-misinya untuk mengembangkan Islam berlandaskan ahlusunnah waljamaah. Tujuan itu diusahakan dengan:

(1) Memperkuat persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran empat mazhab. (2) Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah. (3) Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab. (4) Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya. (5) Membantu pembangunan masjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin. (6) Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.

Dari enam langkah di atas tidak satupun yang mengindikasikan adanya nuansa politik dalam pergerakan NU. Namun visi keagamaan yang digeluti NU sarat dengan pesan-pesan yang berdimensi politik. Acuan utama yang digunakan NU, yaitu fiqih mazhab, yang cakupan masalahnya tidak hanya fiqih ibadah, tapi juga muamalah dan siyasah yang banyak menyinggung persoalan politik, seperti imamah, imaratul jays dan al-bughat, yang itu beririsan dengan politik. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi sikap dan perilaku politik NU.

Baca Juga: Mengenang Der Kaizer Franz Beckenbauer: Cemerlang di Lapangan, Gemilang saat Melatih

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB