KRjogja.com - SELALU kekhawatiran terjadinya inflasi sepanjang hari besar keagamaan nasional (HBKN), terutama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Inflasi melonjak karena adanya kenaikan permintaan barang dan jasa, seperti pakaian dan jasa transportasi. Banyak faktor yang mendorong terjadinya fenomena ini, baik karena faktor perilaku sosial dan budaya, maupun faktor ekonomi. Perilaku sosial dan budaya yang telah terjadi antar generasi mendorong kenaikan bahwa konsumsi, terutama untuk makanan dan produk kesenangan lainnya.
Perilaku sosial dan budaya ini dipicu lagi dengan kewajiban pemerintah untuk memberikan THR baik pekerja disektor pemerintah maupun swasta. Bahkan bagi sektor swasta yang tidak memberikan THR akan beresiko mendapat masalah dari pemerintah. Kemudahan berbelanja daring ikut memicu perilaku konsumsi Masyarakat di HKBN ini. Menurut portal belanja daring, fesyen produk kaos, sepatu, dan kerudung menjadi produk yang banyak dibeli Masyarakat, termasuk makanan mentah maupun makanan siap saji.
Baca Juga: Jutaan Wisatawan Pilih Jogja untuk Libur Lebaran, DPRD Pesan Jangan Dibuat Kapok
Pemerintah melalui TPID tim pengendalian inflasi daerah berusaha mengendalikan inflasi yang dipicu karena perilaku belanja maupun ketersediaan barang yang dibutuhkan Masyarakat. Masyarakat baru diresahkan karena lonjakan harga beras setelah momen pemilu terjadi. Beras pada Februari 2024 mengalami inflasi 18,41%, beras memberikan andil terbesar pada inflasi bulan Februari, yakni 0,21%. Begitupula lonjakan harga makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,29% dengan tingkat inflasi 1% month to month. Dibandingkan Ramadan dan lebaran lalu, tercatat inflasi naik sebesar 0,95 persen.
Ambiguitas pemerintah antara pengendalian inflasi dan insentif pembakar inflasi kadang membuat kebingungan. Pemerintah resmi mengeluarkan kebijakan yang mengatur pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji 13 melalui PP No. 14/2024 kepada aparatur negara, pensiunan, penerima pensiun, dan penerima tunjangan. Nilainya pun lebih besar dengan menambahkan tunjangan kinerja kepada ASN penerima yang jumlahnya lebih dari 4 juta orang.
Kenaikan pendapatan yang seakan digelontorkan pemerintah ditengah masa pemilu dan melambungnya hutang luar negeri pemerintah, tentunya perlu dicermati dengan baik. Memang pemerintah masih piawai menjaga inflasi pada kisaran 2,5 persen plus minus satu. Lebih dalam lagi perlu dilihat, jangan sampai inflasi akibat THR, kenaikan upah minimum, gaji ke 13 dan berbagai gula-gula yang diberikan pemerintah justru mengakibatkan inflasi pangan. Inflasi pangan pastinya akan sangat berdampak dan dirasakan oleh MBR Masyarakat berpenghasilan rendah. Belum lagi volatilitas produksi pangan dan ancaman ketahanan pangan memperparah terjadinya ketidakmampuan masyarakat dalam menjangkau pangan. ada juga kegelisahan dan rasa sedih Sebagian pekerja yang merasa gaji dan THR nya yang terkena pajak perlu dipahamkan agar tidak mengurangi kebahagiaan di masa HKBN ini.
Baca Juga: OJK Seleksi Ketat Investasi Asing di Bank Nasional
Memang kenaikan harga selama hari besar keagamaan ini tidak bisa dikatakan sebagai ketakutan inflasi. Kenaikan harga pada beberapa jenis komoditas hanya sebagai pemicu terjadinya inflasi, terutama inflasi pangan. Tidak dikatakan sebagai inflasi, karena cuma terjadi temporer dan sementara. Setelah momen hari besar keagamaan, harga akan kembali normal, bahkan permintaan mungkin terjadi sedikit penurunan, karena berbagai pendapatan dialokasikan di awal periode bulanan. Tidak mengklaim THR sebagai pemicu inflasi, tapi berbagai insentif pemerintah yang diberikan diwaktu bersamaan seolah menjadi akumulatif. Perilaku sosial dan budaya maupun insentif THR akan tetap mendorong perilaku konsumsi. Terpenting mengendalikan inflasi dilakukan secara integratiif antara pemerintah, perbankan, BPS, pengelola pasar dilakukan dengan ketersediaan barang sehingga harga terkendali. (Dr. Suparmono, M.Si. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN Yogyakarta, Pengurus ISEI dan Kafegama DIY)