opini

Narasi dan Kebijakan Publik

Rabu, 8 Mei 2024 | 06:30 WIB
Budi Hanoto, SE., MBA.


AKHIR-akhir ini kata “Narasi” banyak menghiasi ruang publik. Di berbagai media khususnya elektronik. Penggunaan narasi menjadi bagian penting dalam sebuah perdebatan dan diskusi. Kata “narasi” akhirnya mengalami inflasi. Dalam konteks perdebatan yang kita lihat, sebuah narasi sering dibangun untuk meraih tujuan tertentu dengan pembentukan persepsi, atau argumentasi berdasarkan bukti dan fakta.

Mengapa kata 'narasi' mengalami inflasi? Padahal zaman dulu, kata narasi nyaris tak muncul di ruang publik. Narasi hanya menjadi bagian penting dari pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah. Penggunaannya pun biasa dan datar saja, seperti membuat sebuah essay. Atau, narasi sekadar melengkapi informasi sebuah pameran lukisan, agar pengunjung memahami detil lukisannya.

Sebuah kata bisa mengalami lonjakan penggunaan dan penguatan makna, seiring dengan dinamika kehidupan. Ketika covid misalnya, kata 'penyintas' dan 'terpapar' menjadi sering muncul, ramai dimaknai di berbagai diskusi. Ketika iklim demokrasi lebih terbuka, maka narasi menjadi sebuah paket komplit yang berisi argumentasi, bukti dan fakta, dengan arah tujuan tertentu. Bahkan, dalam konteks verbal sering digunakan untuk mendominasi sebuah diskusi, sehingga narasi tidak hanya masif tetapi juga mengalami ekspansi bobot penggunaan untuk mempengaruhi masyarakat.

Baca Juga: Bukti Pencemaran Sumir, Petambak Karimun Jawa Minta Dibebaskan

Kamus Umum Bahasa Indonesia VI mendefinisikan narasi adalah teks yang menceritakan peristiwa atau kejadian secara detail dan kronologis, dapat berupa fiksi maupun nonfiksi, bertujuan menghibur atau memberikan wawasan kepada pembacanya. Singkatnya, narasi berisi penyampaian sebuah peristiwa atau materi, memiliki aspek waktu, latar belakang, tujuan, dan harapan terhadap penyampaian isi narasinya.

Aspek Kebijakan dalam perekonomian sering menjadi sorotan. Tidak saja yang bersifat makro, seperti upaya mencapai kestabilan harga dan mendorong pertumbuhan, tetapi juga yang bersifat mikro, seperti penyaluran bansos yang menjadi perdebatan dalam Pemilu 2024. Sejatinya, kebijakan adalah sebuah respon untuk mengurangi dampak buruk yang dihadapi masyarakat, termasuk mengantisipasi tantangan atau risiko yang mungkin timbul.

Jadi, kebijakan juga harus mampu mengarahkan ekspektasi masyarakat (pre-emptive dan forward looking). Dalam konteks ini, narasi sebuah kebijakan memiliki peran yang sangat penting, terutama dari aspek konten dan daya mempengaruhi masyarakat agar dampak kebijakannya efektif. Konstruksi narasi kebijakan berisi tujuan kebijakan, instrumen yang dipakai, timing, ekspektasi, konsistensi, dan efektivitasnya.

Sebuah kebijakan tentu dikeluarkan berdasarkan tatakelola yang baik (policy governance). Tata kelola kebijakan menjadi kata kunci bagi kredibilitas dan akuntabilitas institusi publik yang mengeluarkan kebijakan. Lahirnya sebuah kebijakan, katakan kebijakan bansos yang kemarin ramai dipersoalkan, tentu sudah melalui aspek tata kelola kebijakan dan disampaikan dengan narasi komunikasi dan cara yang baik. Dalam narasi kebijakan, setidaknya terdapat tiga aspek tata kelola yang harus dilewati.

Baca Juga: Halal Bi Halal DPD Perbarindo DIY, Semakin Kompak Tingkatkan Performa BPR/BPRS

Pertama, faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan; meliputi asesmen kondisi makro-mikro yang lebih mendalam, dukungan riset dan data, memperhatikan dampaknya terhadap perekonomian, dan transmisinya pada kesejahteraan masyarakat.

Kedua, proses pengambilan keputusan; sebelum dikeluarkan, kebijakan harus melalui proses pengambilan keputusan berjenjang sesuai kewenangannya. Bahkan untuk kehati-hatian perlu dilakukan sejumlah simulasi dan skenario kebijakan.

Ketiga, aspek komunikasi kebijakan; transparansi dan strategi komunikasi merupakan instrumen penting sebuah kebijakan publik, agar diterima masyarakat.

Dengan strategi komunikasi yang baik, konsisten, dan akuntabel, sesuai mandat dan kewenangan institusi publik yang mengeluarkan, narasi kebijakan akan mempercepat efektivitas penerapannya. Ini akan memperkuat kredibilitas kebijakan dan institusi publik yang mengeluarkannnya. Oleh karena itu, narasi kebijakan harus mampu membuktikan pemenuhan aspek-aspek policy governance dan tujuan yang ingin dicapai, agar publik yakin bahwa kebijakan yang diterapkan akan memberikan dampak positif pada masyarakat.

Baca Juga: Agus 'Moncer' Santoso Kembalikan Berkas Cabup ke DPC Demokrat Bantul

Narasi kebijakan sebuah institusi publik harus dapat dipertanggungjawabkan, bahwa kebijakan sudah melalui proses perumusan yang teliti dengan asesmen yang mendalam sesuai dengan kewenangannya. Dengan narasi yang baik dan kuat, kebijakan publik tentu terjaga efektivitasnya, dan tidak mudah dikriminalisasikan. (Budi Hanoto, SE., MBA., mantan Asisten Gubernur BI, Kepala Departemen Strategis dan Tata Kelola, pemerhati tata kelola 'Policy Governance dan Institutional Governance')

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB