KRjogja.com - ORANG TUA BIJAK, mestinya mendidik anak-anaknya sedemikian rupa, agar nantinya dapat hidup sesuai zamannya. Tidaklah mungkin, generasi penerus dipaksa copy-paste terhadap pemikiran, sikap, dan perilaku generasi sebelumnya. Pun pula tidaklah bijak, bila orang-orang tua mengeluh dan menyalahkan terhadap pola kehidupan anak-anak generasi Z.
Siapakah generasi Z itu? Gen Z adalah generasi yang lahir pada 1997-2012. Generasi ini dikenal sebagai iGen atau Generasi Internet. Perlu diingat, bahwa pada tahun-tahun kelahirannya itu, era digital sudah mapan. Faktor eksternal itu, berpengaruh signifikan terhadap kehidupan mereka. Dalam keseharian, mereka tumbuh dengan smartphone, media sosial, dan internet.
Dr. Alexis Abramson (dalam laman BBC, sebagaimana diadopsi BPS) mengungkapkan bahwa karakter dari Gen Z adalah: (1) Suka berkolaborasi dalam melakukan pekerjaan; (2) Fleksibel; (3) Menyukai tantangan dan dimotivasi oleh pencapaian; (4) Suka mencari cara yang baru dalam menyelesaikan masalah; (5) Tech savvy (mahir teknologi); (6) Suka mengumbar privasi; (7) Mandiri; (8) Toleran; (9) Suka berkomunikasi secara maya; (1) Memiliki ambisi.
Baca Juga: PNM Komitmen Dorong UMKM Naik Kelas
Dalam perspektif religius, sebagaimana generasi-generasi sebelumnya, generasi Z menjalani kehidupannya melalui tahap-tahap (terminal) tertentu. Dalam perjalanan itu, pastilah kondisi awal (fitrah), akan bersentuhan dengan rona kehidupan serba dinamis dan majemuk. Warna putih hingga hitam, sikap lembut hingga kasar, dari jujur berganti menjadi dusta, akan dijumpainya. Kondisi mental-kejiwaan (mental states) atau spiritualitas yang awalnya suci, murni, bersih, terbuka kemungkinan berubah menjadi kotor, banal, sarat kepalsuan. Artinya, karakter Gen Z menjadi jauh dari idealitasnya.
Orang-orang tua, khususnya Gen X, pasti berpengharapan agar spiritualitas Gen Z tetap kokoh. Perjalanannya lancar, sukses, dan banyak prestasi. Singkat kata, amat diharapkan Gen Z mampu menjadi pelaku sejarah kebenaran, kebaikan, dan keunggulan untuk segala urusan. Perjalanan hidup mesti dimaknai sebagai perjuangan spiritual melawan nafsu keserakahan, ambisi pribadi tanpa kepedulian sosial-kebangsaan. Dalam keinsyafan dan keimanan, perjuangan hidup senantiasa dipadukan dengan aktivitas lahiriah dan batiniah.
Dalam terminologi zaman Kalabendu dari Ranggawarsita, diingatkan agar Gen Z tetap eling lan waspada. Tak perlu wawas, khawatir, takut tidak keduman (mendapatkan bagian). Mantapkan keyakinan bahwa rezeki Tuhan melimpah. Setiap makhluk pasti kebagian. Lihatlah, burung yang terbang di pagi hari dalam kondisi perut kosong (lapar), pulang ke sarangnya dalam kondisi perut kenyang.
Baca Juga: Pilkada 2024, KPU Salatiga Kerahkan 579 Pantarlih
Para ahli tasawuf mengajarkan bahwa atas keagungan-Nya, setiap manusia diberikan pengetahuan spiritual (ahwal) dalam momen-momen perjalanannya. Ahwal ini, datang spontan, tak terduga, irasional, dan mengagumkan. Ahwal bersifat subjektif. Walau demikian, deskripsi peristiwa, objek kejadian, kronologi, dan goresan batiniah, sulit dilupakan. Dalam penerimaannya, ada orang yang bersyukur, tetapi ada pula yang kufur. Segalanya terpulang pada kadar keimanannya.
Menurut al-Kalabadzi (w.990/5) salah satu daya spiritual hadirnya ahwal adalah tingkat kebersahajaan (sederhana, narimo ing pandum). Seseorang dikatakan bersahaja ketika ia mampu meninggalkan segala larangan, sehingga kehidupannya sarat dengan etika dan kaidah-kaidah sebagaimana dianjurkan dan diwajibkan. Tak ada sesuatu pun, lebih dari proporsinya. Bila didapatkan kelebihan (harta) maka bergegas untuk didistribusikan kepada pihak lain yang membutuhkan.
Persoalan mendasar Gen Z, adalah mereka tidak pernah diajari laku spiritual. Pendidikan formal (di sekolah-sekolah), maupun pendidikan informal (di keluarga dan masyarakat), sarat dengan pemberian pengetahuan fisik-rasional. Tentu hal demikian ada implikasinya.
Psikolog Albert A.Ehrenzweig (dalam Psychoanalytic Jurisprudence, 1971) mengajarkan bahwa kehidupan bernegara hukum akan baik, bila hukum dikonsepkan dan dipraktikan berdasarkan aktivitas psikis (mind, laku spiritual), dan bukan sekedar sebagai realitas fisik-rasional (sophia) saja.
Baca Juga: Pemkot Gaungkan Gerakan Anti Korupsi di Sekolah
Demi masa depan negara hukum Pancasila, spiritualitas Gen Z, perlu menjadi kepedulian semua pihak, utamanya lembaga-lembaga yang bertanggungjawab pada pendidikan, budaya, kepemudaan, dan agama. Berbagai karakteristik Gen Z, perlu dikembangkan menjadi keunggulan. Wallahu’alam.(Sudjito Atmoredjo, Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM)