KRjogja.com - PERJUANGAN tidak hanya berkonotasi pada perlawanan fisik, namun perjuangan secara denotatif bisa pula merupakan perjuangan non fisik, yang berupa pemikiran, kajian akademik, berbagai jenis kompetisi, aktivitas sosial, membuat karya seni, dan sebagainya. Dalam konteks pembuatan karya seni, tidak jarang seni diciptakan berdasarkan pada spirit perjuangan tokoh atau peristiwa masa lalu yang ditransformasikan menjadi ikon suatu wilayah (daerah) ke dalam tema perjuangan.
Seiring dengan perjalanan kemerdekaan negara kita ke-79 tahun ini, banyak hal yang bisa dijadikan contoh spirit perjuangan tersebut. Kita flashback melihat kembali masa lalu yang pernah terjadi, dan masa kini yang akan terjadi. Dalam konteks karya seni pertunjukan di Kraton Yogyakarta sebagai contoh, munculnya karya-karya yang sarat dengan misi perjuangan, seperti beksan Lawung Ageng karya Sultan Hamengu Buwana I, beksan Menak , karya Sultan Hamengku Buwana IX, beksan Ajisaka karya Sultan Hamengku Buwana X.
Di ranah tari kreasi baru Bagong Kussudiardja membuat karya tari Wira Pertiwi, Jemparing Gagah, Bhayangkara. Sardono W. Kusumo dengan Opera Diponegoro yang fenomenal. Termasuk pula kesenian rakyat tidak kalah penting perannya dalam masa perjuangan fisik. Para gerilyawan kita saat itu ikut berjuang dengan melakukan upaya penyamaran dengan menggunakan media pertunjukan untuk membantu perjuangan para pejuang kemerdekaan dalam menentang pendudukan Belanda. Dengan strategi itu para pejuang berhasil mengimbangi perlawanan para tentara kolonial.
Di samping karya tradisi tersebut, M.Miroto menghasilkan sebuah koreografi kontemporer berjudul Kembang Sampah, yang hingga saat ini masih terus dihadapi masyarakat di kota Yogyakarta dengan penuh perjuangan. Perjuangan melawan realitas sosial ini memang tidak akan pernah berhenti, seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat plural akan selalu memunculkan berbagai tantangan. Dengan keadaan itu akankah kita menyerah?
Sekali lagi spirit perjuangan yang pernah dilakukan para kreator seni pendahulu kita mampu memotivasi kita dalam menghadapi tantangan ke depan. Spirit lain dilakukan para pegiat seni yang tak kenal lelah melestarikan seni di sanggarnya, adalah bukti bahwa kepedulian terhadap bangsa Indonesia tak pernah padam. Sungguhpun ancaman itu terus datang, namun semua itu adalah tantangan.
Baca Juga: Kiper 2 Meter PSS Tampil Baik di Laga Perdana, Begini Kata Pelatih Wagner Lopes
Maraknya berita tentang gamelan jawa diajarkan di beberapa negara, tidak cukup hanya dibanggakan saja, tetapi mestinya ada semacam autokritik. Mengapa kita sendiri tidak memuliakan gamelan dan seni tradisi lainnya di negeri sendiri? Ironisnya, generasi muda kita sendiri justru belajar dan bangga dengan budaya k-pop (korea). Berita terkini kita mendengar bahwa bahasa jawa ditetapkan menjadi bahasa wajib yang digunakan setiap hari jumat di Malaysia. Akankah kita protes dengan realitas itu? Lalu apa yang dapat dilakukan sebagai wujud proteksi terhadap budaya kita sendiri?
Dalam konteks ini pendidikan seni sebagai proses pembudayaan dan pemberadaban, memiliki peran strategis untuk mengantisipasi permasalahan tersebut. Tentu saja jawabannya adalah pada diri kita sendiri yang kadang gengsi menggunakan bahasa jawa untuk anak-anak kita sendiri sebagai bahasa pergaulan.
Konsistensi pejuangan yang terjadi saat ini memang merupakan bagian dari perlawanan terhadap “penjajahan non fisik” yang marak dihadapi negeri kita. Hanya masalahnya apakah kita sebagai bangsa yang memiliki budaya itu sadar atau cukup bangga dengan dosa-dosa yang membiarkan budaya kita dipakai orang “mancanegara”? Bagaimana kita memposisikan diri kita menghadapi tantangan yang tidak dapat kita hindarkan. Nampaknya ini bagian dari perjuangan untuk menghidupkan peluang anak bangsa untuk tetap eksis di tengah pengaruh perkembangan zaman.
Baca Juga: Polres Bantul Gulirkan Program ‘Baling’
Saatnya kini kita meneguhkan jati diri melalui jalan kebudayaan yang harus kita implementasikan dalam kehidupan. Bagaimana konsep tegur sapa kultural dibangun di tengah keragaman budaya yang berkembang. Menegakkan prinsip sawiji, greget, sengguh , dan ora mingkuh sebagai landasan untuk menghadapi tantangan dalam kebidupan adalah sebuah keniscayaan yang akan terjadi. Jika tidak, kita akan menjadi manusia modern yang akan “tergilas” dari sisi budaya tradisinya. (Prof. Dr. Kuswarsantyo, M.Hum, Guru Besar Fak. Bahasa Seni dan Budaya UNY dan Pengamat Budaya)