KRjogja.com - PASCA pelantikan Kabinet “Merah Putih”, telah terjadi pro dan kontra dalam diskusi publik dan obrolan di warung kopi. Kelompok yang pro intinya menyatakan struktur dan anggota kabinet sudah sesuai untuk mengantisipasi kondisi 5 tahun mendatang dan keberlanjutan Pemerintahan Jokowi.
Di sisi lain, kelompok yang kontra menyatakan kabinet terlalu gemuk dan beberapa menteri/wakil menteri dianggap tidak kompeten. Terlepas pro dan kontra, semua harus memberikan kesempatan bagi Presiden Prabowo Subianto dan Kabinet “Merah Putih” segera bekerja keras untuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Presiden Prabowo telah menargetkan di masa pemerintahannya pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 8% per tahun. Suatu target yang cukup “ambisius”, dengan sikap optimis dan bekerja keras untuk mengoptimalkan potensi ekonomi target tersebut dimungkinkan dapat dicapai.
Dari sisi permintaan agregat pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh konsumsi masyarakat, investasi domestik dan asing, pengeluaran pemerintah (APBN/APBD) dan ekspor bersih (selisih antara ekspor dengan impor). Melihat kondisi saat ini variabel yang masih mungkin didorong agar lebih optimal adalah investasi dan eskpor.
Baca Juga: Hadapi Tuntutan Para Santri, Kapolda DIY: Tidak Boleh Lagi Ada Izin Miras
Pemerintahan Prabowo harus dapat memberikan kemudahan dalam berinvestasi dan berusaha (ease doing business) bagi calon maupun investor baik domestik dan asing. Kemudahan berinvestasi dan berbisnis masa Pemerintahan Prabowo harus lebih baik dari Pemerintahan Jokowi. Kemudahan termaksud mulai dari perizinan sampai insentif yang terkait pajak, HGU/HGB serta fasilitasi lainnya.
Kebijakan untuk memberikan kemudahan berinvestasi dan berusaha yang dilakukan melalui sinergi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dengan melibatkan asosiasi pengusaha yang diwakili KADIN misalnya. Menurut penulis, sampai saat ini masih ada beberapa regulasi berusaha dan berinvestasi yang belum sinkron antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Untuk mendorong ekspor maka Pemerintahan Prabowo harus mempertimbangkan subsidi ekspor bagi produk potensial dan kompetitif di pasar dunia. Selanjutnya harus diikuti dengan perbaikan efisiensi logistik. Efisiensi tersebut dapat meningkatkan daya saing harga produk ekspor kita. Ide Duta Besar RI sebagai pemasar produk ekspor harus lebih diintensifkan. Harapannya agar dapat dibukanya pasar baru untuk produk Indonesia di luar negeri.
Baca Juga: Mendikdasmen: Kesantunan Berbahasa di Ruang Publik Merupakan Cermin dari Peradaban Bangsa Indonesia
Dari sisi produksi atau penawaran agregat, kebijakan industrialisasi yang disertai hilirisasi wajib dilanjutkan. Hilirisasi diakui dapat memberikan nilai tambah yang nyata bagi perekonomian. Hilirisasi tidak hanya untuk produk tambang, namun juga diterapkan di produk pertanian, peternakan dan perikanan yang potensial di pasar ekspor.
Dalam jangka pendek, Presiden Prabowo harus memperhatikan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Sejak tahun lalu sampai saat ini telah terjadi PHK sebanyak 220.000 pekerja di industri tersebut. Salah satu penyebab terjadinya PHK tersebut karena produk TPT kalah bersaing dengan produk impor sejenis.
Seperti diketahui, produk TPT impor yang legal dan illegal membajiri pasar domestik. Kondisi tersebut menjadikan produk domestik kalah bersaing dalam harga. Selanjutnya banyak perusahaan TPT mengalami penurunan permintaan yang berujung penurunan produksi. Gilirannya perusahaan-perusahaan tersebut terpaksa melakukan PHK.
Pada triwulan I tahun 2024, industri TPT mampu menyumbang sebesar 5,84% terhadap PDB sektor manufaktur dan berkontribusi terhadap ekspor nasional sebesar USD11,6 miliar dengan surplus mencapai USD3,2 miliar. Industri TPT sektor padat karya dengan menyerap tenaga kerja mencapai 3,98 juta tenaga atau memberikan kontribusi sebesar 19,47% terhadap total tenaga kerja di sektor manufaktur pada tahun 2023.
Baca Juga: Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat Gali Potensi Kreatif dan Inovasi Gen Z